Kamis, 09 Mei 2013

Penjelasan Iman, Islam dan Ihsan

Penjelasan Iman, Islam dan Ihsan
Di Posting Oleh : Admin
Kategori : Fiqih Blog Tutorial, Teknologi dan Kesehatan: Mangaip Blog | Berita Terkini dan Terbaru: Terbaru.co.id

Penjelasan Iman, Islam dan Ihsan - Dikaji Dari Hadits Arbain ke-2


عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال : بينما نحن جلوس عند رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم إذ طلع علينا رجل شديد بياض الثياب شديد سواد الشعر , لا يرى عليه أثر السفر , ولا يعرفه منا أحد حتى جلس إلى النبي صلى الله عليه وسلم فأسند ركبته إلى ركبتيه ووضح كفيه على فخذيه , وقال : يا محمد أخبرني عن الإسلام , فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا ” قال صدقت فعجبا له يسأله ويصدقه , قال : أخبرني عن الإيمان قال ” أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره ” قال : صدقت , قال : فأخبرني عن الإحسان , قال ” أن تعبد الله كأنك تراه , فإن لم تكن تراه فإنه يراك ” قال , فأخبرني عن الساعة , قال ” ما المسئول بأعلم من السائل ” قال فأخبرني عن اماراتها . قال ” أن تلد الأمة ربتها وأن ترى الحفاة العراة العالة رعاء الشاء يتطاولون في البنيان ” . ثم انطلق فلبث مليا , ثم قال ” يا عمر , أتدري من السائل ؟” , قلت : الله ورسوله أعلم , قال ” فإنه جبريل أتاكم يعلمكم دينكم ” رواه مسلم

Terjemahan:

Dari Umar bin Al-Khathab radhiallahu ‘anh, dia berkata: ketika kami tengah berada di majelis bersama Rasulullah pada suatu hari, tiba-tiba tampak dihadapan kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan jauh dan tidak seorangpun diantara kami yang mengenalnya.

Lalu ia duduk di hadapan Rasulullah dan menyandarkan lututnya pada lutut Rasulullah dan meletakkan tangannya diatas paha Rasulullah, selanjutnya ia berkata,” Hai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam ” Rasulullah menjawab,”Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Alloh dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Alloh, engkau mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Romadhon dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya.” Orang itu berkata,”Engkau benar,” kami pun heran, ia bertanya lalu membenarkannya.

Orang itu berkata lagi,” Beritahukan kepadaku tentang Iman” Rasulullah menjawab,”Engkau beriman kepada Alloh, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada utusan-utusan Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk” Orang tadi berkata,” Engkau benar” Orang itu berkata lagi,”

Beritahukan kepadaku tentang Ihsan” Rasulullah menjawab,”Engkau beribadah kepada Alloh seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu.” Orang itu berkata lagi,”Beritahukan kepadaku tentang kiamat” Rasulullah menjawab,” Orang yang ditanya itu tidak lebih tahu dari yang bertanya.”

Selanjutnya orang itu berkata lagi,”beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya” Rasulullah menjawab,” Jika hamba perempuan telah melahirkan tuan puterinya, jika engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin dan penggembala kambing, berlomba-lomba mendirikan bangunan.” Kemudian pergilah ia, aku tetap tinggal beberapa lama kemudian Rasulullah berkata kepadaku, “Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya itu?” Saya menjawab,” Alloh dan Rosul-Nya lebih mengetahui” Rasulullah berkata,” Ia adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan kepadamu tentang agama kepadamu.

Penjelasan:
Hadits ini sangat berharga karena mencakup semua fungsi perbuatan lahiriah dan bathiniah, serta menjadi tempat merujuk bagi semua ilmu syari’at dan menjadi sumbernya. Oleh sebab itu hadits ini menjadi induk ilmu sunnah.Hadits ini menunjukkan adanya contoh berpakaian yang bagus, berperilaku yang baik dan bersih ketika datang kepada ulama, orang terhormat atau penguasa, karena jibril datang untuk mengajarkan agama kepada manusia dalam keadaan seperti itu.Kalimat “ Ia meletakkan kedua telapak tangannya diatas kedua paha beliau, lalu ia berkata : Wahai Muhammad…..” adalah riwayat yang masyhur. Nasa’i meriwayatkan dengan kalimat, “Dan ia meletakkan kedua tangannya pada kedua lutut Rasulullah….” Dengan demikian yang dimaksud kedua pahanya adalah kedua lututnya.Dari hadits ini dipahami bahwa islam dan iman adalah dua hal yang berbeda, baik secara bahasa maupun syari’at. Namun terkadang, dalam pengertian syari’at, kata islam dipakai dengan makna iman dan sebaliknya.

Kalimat, “Kami heran, dia bertanya tetapi dia sendiri yang membenarkannya” mereka para shahabat Rasulullah menjadi heran atas kejadian tersebut, karena orang yang datang kepada Rasulullah hanya dikenal oleh beliau dan orang itu belum pernah mereka ketahui bertemu dengan Rasulullah dan mendengarkan sabda beliau. Kemudian ia mengajukan pertanyaan yang ia sendiri sudah tahu jawabannya bahkan membenarkannya, sehingga orang-orang heran dengan kejadian itu.

Kalimat, “Engkau beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya, dan kepada kitab-kitab-Nya….” Iman kepada Allah yaitu mengakui bahwa Allah itu ada dan mempunyai sifat-sifat Agung serta sempurna, bersih dari sifat kekurangan,. Dia tunggal, benar, memenuhi segala kebutuhan makhluk-Nya, tidak ada yang setara dengan Dia, pencipta segala makhluk, bertindak sesuai kehendak-Nya dan melakukan segala kekuasaan-Nya sesuai keinginan-Nya.

Iman kepada Malaikat, maksudnya mengakui bahwa para malaikat adalah hamba Allah yang mulia, tidak mendahului sebelum ada perintah, dan selalu melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya.
Iman kepada Para Rasul Allah, maksudnya mengakui bahwa mereka jujur dalam menyampaikan segala keterangan yang diterima dari Allah dan mereka diberi mukjizat yang mengukuhkan kebenarannya, menyampaikan semua ajaran yang diterimanya, menjelaskan kepada orang-orang mukalaf apa-apa yang Allah perintahkan kepada mereka. Para Rasul Allah wajib dimuliakan dan tidak boleh dibeda-bedakan.

Iman kepada hari Akhir, maksudnya mengakui adanya kiamat, termasuk hidup setelah mati, berkumpul dipadang Mahsyar, adanya perhitungan dan timbangan amal, menempuh jembatan antara surga dan neraka, serta adanya Surga dan Neraka, dan juga mengakui hal-hal lain yang tersebut dalam Qur’an dan Hadits Rosululloh.

Iman kepada taqdir yaitu mengakui semua yang tersebut diatas, ringkasnya tersebut dalam firman Allah QS. Ash-Shaffaat : 96, “Allah menciptakan kamu dan semua perbuatan kamu” dan dalam QS. Al-Qamar : 49, “Sungguh segala sesuatu telah kami ciptakan dengan ukuran tertentu” dan di ayat-ayat yang lain.

Demikian juga dalam Hadits Rasulullah, Dari Ibnu Abbas, “Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan suatu keuntungan kepadamu, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang Allah telah tetapkan pada dirimu. Sekiranya merekapun berkumpul untuk melakukan suatu yang membahayakan dirimu, niscaya tidak akan membahayakan dirimu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Segenap pena diangkat dan lembaran-lembaran telah kering”Para Ulama mengatakan, Barangsiapa membenarkan segala urusan dengan sungguh-sungguh lagi penuh keyakinan tidak sedikitpun terbersit keraguan, maka dia adalah mukmin sejati.

Kalimat, “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya….” Pada pokoknya merujuk pada kekhusyu’an dalam beribadah, memperhatikan hak Allah dan menyadari adanya pengawasan Allah kepadanya serta keagungan dan kebesaran Allah selama menjalankan ibadah.

Kalimat, “Beritahukan kepadaku tanda-tandanya ? sabda beliau : Budak perempuan melahirkan anak tuannya” maksudnya kaum muslimin kelak akan menguasai negeri kafir, sehingga banyak tawanan, maka budak-budak banyak melahirkan anak tuannya dan anak ini akan menempati posisi majikan karena kedudukan bapaknya. Hal ini menjadi sebagian tanda-tanda kiamat. Ada juga yang mengatakan bahwa itu menunjukkan kerusakan umat manusia sehingga orang-orang terhormat menjual budak yang menjadi ibu dari anak-anaknya, sehingga berpindah-pindah tangan yang mungkin sekali akan jatuh ke tangan anak kandungnya tanpa disadarinya.

Hadits ini juga menyatakan adanya larangan berlomba-lomba membangun bangunan yang sama sekali tidak dibutuhkan. Sebagaimana sabda Rasulullah,” Anak adam diberi pahala untuk setiap belanja yang dikeluarkannya kecuali belanja untuk mendirikan bangunan”

Kalimat, “Penggembala Domba” secara khusus disebutkan karena merekalah yang merupakan golongan badui yang paling lemah sehingga umumnya tidak mampu mendirikan bangunan, berbeda dengan para pemilik onta yang umumnya orang terhormat.
Kalimat, “Saya tetap tinggal beberapa lama” maksudnya Umar radhiallahu ‘anh tetap tinggal ditempat itu beberapa lama setelah orang yang bertanya pergi, dalam riwayat yang lain yang dimaksud tetap tinggal adalah Rosululloh.

Kalimat, “Ia datang kepada kamu sekalian untuk mengajarkan agamamu” maksudnya mengajarkan pokok-pokok agamamu, demikian kata Syaikh Muhyidin An Nawawi dalam syarah shahih muslim. Isi hadits ini yang terpenting adalah penjelasan islam, iman dan ihsan, serta kewajiban beriman kepada Taqdir Allah Ta’ala.

Sesungguhnya keimanan seseorang dapat bertambah dan berkurang, QS. Al-Fath : 4, “Untuk menambah keimanan mereka pada keimanan yang sudah ada sebelumnya”. Imam Bukhari menyebutkan dalam kitab shahihnya bahwa ibnu Abu Mulaikah berkata, “Aku temukan ada 30 orang shahabat Rasulullah yang khawatir ada sifat kemunafikan dalam dirinya. Tidak ada seorangpun dari mereka yang berani mengatakan bahwa ia memiliki keimanan seperti halnya keimanan Jibril dan Mikail ‘alaihimus salaam”

Kata iman mencakup pengertian kata islam dan semua bentuk ketaatan yang tersebut dalam hadits ini, karena semua hal tersebut merupakan perwujudan dari keyakinan yang ada dalam bathin yang menjadi tempat keimanan. Oleh karena itu kata Mukmin secara mutlak tidak dapat diterapkan pada orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar atau meninggalkan kewajiban agama, sebab suatu istilah harus menunjukkan pengertian yang lengkap dan tidak boleh dikurangi, kecuali dengan maksud tertentu. Juga dibolehkan menggunakan kata Tidak beriman sebagaimana pengertian hadits Rasulullah, “Seseorang tidak berzina ketika dia beriman dan tidak mencuri ketika dia beriman” maksudnya seseorang dikatakan tidak beriman ketika berzina atau ketika dia mencuri.

Kata islam mencakup makna iman dan makna ketaatan, syaikh Abu ‘Umar berkata, “kata iman dan islam terkadang pengertiannya sama terkadang berbeda. Setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin” ia berkata, “pernyataan seperti ini sesuai dengan kebenaran” Keterangan-keterangan Al-Qur’an dan Assunnah berkenaan dengan iman dan islam sering dipahami keliru oleh orang-orang awam. Apa yang telah kami jelaskan diatas telah sesuai dengan pendirian jumhur ulama ahli hadits dan lain-lain. Wallahu a’lam. Sumber:

Ilmu Hadits ; Pengertian dan Bentuk - Bentuk Hadits

Ilmu Hadits ; Pengertian dan Bentuk - Bentuk Hadits
Di Posting Oleh : Admin
Kategori : Ilmu Hadist Blog Tutorial, Teknologi dan Kesehatan: Mangaip Blog | Berita Terkini dan Terbaru: Terbaru.co.id

Pengertian dan Bentuk - Bentuk Hadits - Berikut penjelasan secara detail tentang hadits, mulai pengertian, bentuk-bentuk hadits dan ejarah Hadits juga perbedaan- perbedaan yang menyangkut hadits:

Pengertian Hadits

1. Pengertian hadits secara etimologis Menurut Ibn Manzhur, kata ‘hadis ‘ berasal dari bahasa arab, yaitu al-hadist, jamaknya al-Ahadist , al-Hadistan dan al-hudtsan. Secara etimologis , kata ini memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid (yang baru) lawan dari al-qadim (yang lama), dan al-khabar, yang berarti kabar atau berita.
Dalam Al-Quran, kata hadist ini digunakan sebanyak 23 kali. Berikut contohnya:

a. Komunikasi Religius : risalah atau Al-Quran
Allah Ta’ala menurunkan secara bertahap hadits(risalah) yang paling baik (yaitu) dalam bentuk kitab (Q.S. Az-Zumar [39]:23

b.Kisah tentang suatu watak sekuler atau umum
Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokan ayat Kami, tinggalkanlah mereka sehingga membicarakan hadis (perkataan) yang lain.
c. Kisah historis
Apabila telah sampai kepadamu hadis (kisah) musa?

d. Kisah kontemporer atau percakapan

Q.S Attahrim [66]:3

2. Pengertian Hadits Secara Terminologi

Secara terminologis, para ulama, baik muhaditsin, fuqaha, ataupun ulama ushul, merumuskan pengertian hadits secara berbeda-beda. Perbedaan pandangan tersebut lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang di dalaminya.

Ulama hadis mendefinisikan hadis sebagai berikut :
“Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.”

Adapun menurut istilah para fuquha, hadis adalah:
“Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.”

PENGERTIAN SUNNAH, KHABAR, DAN ATSAR

1. Pengertian Sunnah
Menurut bahasa, Sunnah adalah : jalan yang dilalui, baik terpuji atau tercela.
Kalau menurut istilah, sunnah atau hadits adalah : hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan maupun sifat beliau, baik berupa sifat fisik, moral, maupun perilaku sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya.

2. Pengertian Khabar
Khabar : warta (berita) yang di sampaikan dari seseorang kepada orang lain.

3. Pengertian Atsar
Atsar : bekas sesuatu (sisa) sesuatu.
Para fuqaha memakai istilah atsar untuk perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in dan lain-lain.
BENTUK – BENTUK HADIS

Bentuk-bentuk hadits terbagi pada qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), taqrir (ketetapan), hammi (keinginan), ahwali (hal ihwal), dan lainnya.

1. Hadits qauli
Hadits qauli adalah segala bentuk perkataan, atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW, yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk, peristiwa, syara’, dan kisah, baik yang berkaitan dengan aspek aqidah, syari’at maupun akhlak.
2. Hadits Fi’li
Hadits fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dalam hadits tersebut terdapat berita tentang perbuatan Nabi SAW, yang menjadi anutan perilaku para sahabat pada saat itu dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam untuk mengikutinya.
3. Hadits Taqriri
Hadits taqriri adalah segala ketetapan Nabi terhadap apa yang datang/ di lalukan oleh para sahabatnya. Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau mempermasalahkannya.
4. Hadits Hammi
Hadits Hammi : hadits yang berupa keinginan/hasrat Nabi SAW yang belum direalisasikan, seperti: hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura.
5. Hadits Ahwali
Hadits ahwali: hadits yang berupa hal ihwal Nabi SAW yang tdk termasuk ke dalam kategori keempat bentuk hadits diatas.

D. Hadits Qudsi
Hadits qudsi secara bahasaa berasal dari kata qadusa, yaqdusu, qudsan, artinya suci atau bersih. Jadi, hadits qudsi secara bahasa adalah hadits yang suci.
Secara terminologi, terdapat banyak definisi dengan redaksi yang berbeda-beda. Meskipun demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa hadits qudsi adalah segala sesuatu yang diberitakan Allah SWT kepada Nabi SAW, selain Al-Quran yang redaksinya disusun oleh Nabi SAW.

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA HADITS QUDSI DAN HADITS NABAWI

Persamaannya yaitu : antara hadits qudsi & hadits nabawi sama-sama bersumber dari Allah SWT.
Kalau perbedaannya yaitu : hadits nabawi dinisbatkan kepada Rasul Saw dan diriwayatkan dari beliau, sedangkan hadits qudsi dinisbatkan kepada Allah SWT & Rosul Saw hanya menceritakan dan meriwayatkan dari Allah SWT.

PERBEDAAN AL-QURAN DENGAN HADITS QUDSI

Berikut ini perbedaanya :
1.Al-Quran Al-Karim adalah kalam Allah SWT yang menantang & mukjizat yang abadi hingga hari akhir, sedangkan hadits qudsi tidak digunakan untuk menantang & tidak pula untuk mukjizat.

2.Al-Quran Al-Karim hanya dinisbatkan untuk Allah SWT, sedangkan hadits qudsi terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah SWT & kadang juga disandarkan kepada Rasulullah Saw.

3.Al-Quran Al-Karim dari Allah, baik lafadz maupun maknanya & merupakan wahyu Allah, sedangkan hadits qudsi itu maknanya saja dari Allah & lafadznya dari Rasulullah Saw.

SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS

Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi.

M. Habsyi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadits menjadi tujuh periode, sejak periode Nabi SAW. Hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.

1. Periode pertama : Perkembangan hadits pada masa Rasulullah SAW. Periode ini disebut ‘Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin’ (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat islam). Tokoh-tokohnya yaitu:
a. Abdullah Ibn Amr Ibn Al-’Ash, shahifah-nya disebut Ash-Shadiqah.
b. Ali Ibn Abi Thalib, penulis hadits tentang hukum diyat, hukum keluarga, dan lain-lain.
c. Anas Ibn Malik

2. Periode kedua : perkembangan hadits pada masa khulafa’ ar-rasyidin (11 H – 40 H)
periode ini disebut Ashr-At-Tatsabbul wa Al-Iqlal min Al Riwayah (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW, wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.

3. Periode ketiga: Perkembangan pada masa sahabat kecil dan tabiin.

Periode ini disebut ‘ashr intisyar al-riwayah ila al-amshar’ (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis).

Adapun tokoh-tokohnya :

Abu hurairah, menurut ibn al-jauzi, beliau meriwayatkan 5.374 hadits, sedangkan menurut al-kirmany, beliau meriwayatkan 5.364 hadits.
  • Abdullah ibn umar meriwayatkan 2.630 hadits.
  • Aisyah, istri Rasul Saw. Meriwayatkan 2.276 hadits.
  • Abdullah ibn abbas meriwayatkan 1.660 hadits.
  • Jabir ibn ‘Abdullah meriwayatkan 1.540 hadits.
  • Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadits.

Pada periode ketiga ini, mulai muncul usaha pemalsuan hadits oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan : Pertama, golongan ‘Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan syi’ah. Kedua, golongan khawarij, yang menentang ‘Ali, dan golongan Mu’awiyah, dan ketiga, golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu).

Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa At-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisan & pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau asas inisiatif pemerintah. Adapun yang atas perseorangan, sebelum abad II H hadits sudah banyak di tulis, baik pada masa tabi’in, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi Saw. Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz tahun 101 H. Pada saat itu banyak perowi hadits yang meninggal, sehingga Khalifah Umar Ibn Aziz berinisiatif untuk membukukan & mengumpulkan hadits-hadits dalam satu buku dari para perowinya langsung.

Sekalipun demikian, yang dapat ditegaskan sejarah sebagai pengumpul hadits adalah :

1. Pengumpul pertama di kota Mekkah, Ibnu Juraij (80-150 H)
2. Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)
3. Pengumpul pertama di kota Bashrah, Al-Rabi’ Ibn Shabih (w. 160 H)
4. Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H)
5. Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza’i (w. 95 H)
6. Pengumpul pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (w.104-188 H)
7. Pengumpul pertama di Yaman, Ma’mar Al-Azdy (95-153 H)
8. Pengumpul pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)
9. Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11-181 H)
10. Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa’ad (w. 175 H).

5. Periode Kelima : Masa Men-tashih-kan Hadits dan Penyusunan Kaidah-Kaidahnya

Abad ketiga Hijriyah merupakan puncak usaha pembukuan hadits. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa’ – Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan enghapal hadits, mengumpulkan, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadits.

Para ulama pada mulanya menerima hadits dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan shahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadits dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadits, para ulama pun melakukan hal-hal berikut.

a.membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa, dan lain-lain.
b.memisahkan hadits-hadits yang shahih dari hadits yang dha’if yakni dengan men-tashih-kan hadits.

Tokoh-tokoh dalam masa ini yaitu : ‘Ali Ibnul Madany, Abu Hatim Ar-Razy, Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Muhammad Ibn Sa’ad, Ishaq Ibnu Rahawaih, Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’I, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah & Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri.

6. Periode Keenam : Dari Abad IV hingga tahun 656 H (yaitu pada masa ‘Abasiyyah angkatan ke-2).
Periode ini dinamakan ‘Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-Jami’.
Ulama-ulama hadits yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, digelari mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadits semata-mata atas usaha sendiri & pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghapalnya di berbagai pelosok negeri.

Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat yang degelari ‘mutaakhirin’. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan itu petikan dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikityang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghapalnya.
Di antara usaha-usaha ulama hadits yang terpenting dalam periode ini adalah: mengumpulkan hadits Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab, mengumpulkan hadits-hadits dalam enam kitab, mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab, mengumpulkan hadits-hadits hukum & menyusun kitab-kitab ‘Athraf.

7. Periode Ketujuh (656 H-sekarang)

Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu’tashim (w. 656 H) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al-Jami’ wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-takhrij-an, dan pembahasan.

Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadits, menyaringnya dan menyusun kitab enam takhrij, serta membuat kitab-kitab Jami’ yang umum.

Sebagaimana periode keenam, periode ketujuh ini pun muncul ulama-ulama hadits yang menyusun kitab ‘Athraf.

Tokoh-tokoh hadits yang terkenal pada masa ini adalah : Adz-Dzahaby (748 H), Ibnu Sayyidinnas (734 H), Ibnu Daqiq Al-’Ied, Mughlathai (862 H), Al-Atsqalany (852 H), Ad-Dimyati (705 H), Al-’Ainy (855 H), As-Suyuthi (911 H), Az-Zarkasy (794 H), Al-Mizzy (742 H), Al-’Alay (761 H), Ibnu Katsir (774 H), Az-Zaily (762 H), Ibnu Rajab (795 H), Ibnu Mulaqqin (804 H), Al-Bulqiny (805 H), Al-’Iraqy (w. 806 H), Al-Haitsamy (807 H), dan Abu Zurah (826 H).

MADRASAH-MADRASAH HADIS

Madrasah hadis adalah tempat atau pusat penyebaran hadis Nabi SAW. Berkembangnya madrasah hadis ini diawali ketika Rasul mengutus para sahabat untuk berdakwah keberbagai pelosok negri, seperti Irak, Yaman, Mesir, dan sebagainya. Ditempat inilah mereka mengajar agama termasuk mengajar hadis-hadis yang telah mereka dapatkan dari Rasul SAW.

Madrasah hadis tersebut melahirkan tokoh-tokoh terkenal, baik dari golongan sahabat, tabiin, maupun atba’ tabiin.
Berikut ini tokoh-tokohnya :

1. Madrasah Madinah
2. Madrasah Mekah
3. Madrasah Yaman
4. Madrasah Bashrah
5. Madrasah Kufah
6. Madrasah Syam
7. Madrasah Mesir

Pengertian Hadits

Pengertian Hadits
Di Posting Oleh : Admin
Kategori : Ilmu Hadist Blog Tutorial, Teknologi dan Kesehatan: Mangaip Blog | Berita Terkini dan Terbaru: Terbaru.co.id

Pengertian Hadits, berikut penjelasan pengertian hadits secara etimologis dan terminologi:

1. Pengertian hadits secara etimologis 

Menurut Ibn Manzhur, kata ‘hadis ‘ berasal dari bahasa arab, yaitu al-hadist, jamaknya al-Ahadist , al-Hadistan dan al-hudtsan. Secara etimologis , kata ini memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid (yang baru) lawan dari al-qadim (yang lama), dan al-khabar, yang berarti kabar atau berita.
Dalam Al-Quran, kata hadist ini digunakan sebanyak 23 kali. Berikut contohnya:

a. Komunikasi Religius : risalah atau Al-Quran
Allah Ta’ala menurunkan secara bertahap hadits(risalah) yang paling baik (yaitu) dalam bentuk kitab (Q.S. Az-Zumar [39]:23

b.Kisah tentang suatu watak sekuler atau umum
Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokan ayat Kami, tinggalkanlah mereka sehingga membicarakan hadis (perkataan) yang lain.
c. Kisah historis
Apabila telah sampai kepadamu hadis (kisah) musa?

d. Kisah kontemporer atau percakapan

Q.S Attahrim [66]:3

2. Pengertian Hadits Secara Terminologi


Secara terminologis, para ulama, baik muhaditsin, fuqaha, ataupun ulama ushul, merumuskan pengertian hadits secara berbeda-beda. Perbedaan pandangan tersebut lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang di dalaminya.

Ulama hadis mendefinisikan hadis sebagai berikut :
“Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.”

Adapun menurut istilah para fuquha, hadis adalah:
“Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.”

Pengertian Sunnah, Khabar dan Atsar

Pengertian Sunnah, Khabar dan Atsar
Di Posting Oleh : Admin
Kategori : Ilmu Hadist Blog Tutorial, Teknologi dan Kesehatan: Mangaip Blog | Berita Terkini dan Terbaru: Terbaru.co.id

Berikut dibawah ini pengertian sunnah, khabar dan atsar:

1. Pengertian Sunnah
Menurut bahasa, Sunnah adalah : jalan yang dilalui, baik terpuji atau tercela.
Kalau menurut istilah, sunnah atau hadits adalah : hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan maupun sifat beliau, baik berupa sifat fisik, moral, maupun perilaku sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya.

2. Pengertian Khabar
Khabar : warta (berita) yang di sampaikan dari seseorang kepada orang lain.

3. Pengertian Atsar
Atsar : bekas sesuatu (sisa) sesuatu.
Para fuqaha memakai istilah atsar untuk perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in dan lain-lain.

Sejarah Perkembangan Hadits

Sejarah Perkembangan Hadits
Di Posting Oleh : Admin
Kategori : Ilmu Hadist Blog Tutorial, Teknologi dan Kesehatan: Mangaip Blog | Berita Terkini dan Terbaru: Terbaru.co.id

Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi.

M. Habsyi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadits menjadi tujuh periode, sejak periode Nabi SAW. Hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.

1. Periode pertama : Perkembangan hadits pada masa Rasulullah SAW. Periode ini disebut ‘Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin’ (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat islam). Tokoh-tokohnya yaitu:
a. Abdullah Ibn Amr Ibn Al-’Ash, shahifah-nya disebut Ash-Shadiqah.
b. Ali Ibn Abi Thalib, penulis hadits tentang hukum diyat, hukum keluarga, dan lain-lain.
c. Anas Ibn Malik

2. Periode kedua : perkembangan hadits pada masa khulafa’ ar-rasyidin (11 H – 40 H)
periode ini disebut Ashr-At-Tatsabbul wa Al-Iqlal min Al Riwayah (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW, wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.

3. Periode ketiga: Perkembangan pada masa sahabat kecil dan tabiin.
Periode ini disebut ‘ashr intisyar al-riwayah ila al-amshar’ (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis).

Adapun tokoh-tokohnya :

• Abu hurairah, menurut ibn al-jauzi, beliau meriwayatkan 5.374 hadits, sedangkan menurut al-kirmany, beliau meriwayatkan 5.364 hadits.
• Abdullah ibn umar meriwayatkan 2.630 hadits.
• Aisyah, istri Rasul Saw. Meriwayatkan 2.276 hadits.
• Abdullah ibn abbas meriwayatkan 1.660 hadits.
• Jabir ibn ‘Abdullah meriwayatkan 1.540 hadits.
• Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadits.

Pada periode ketiga ini, mulai muncul usaha pemalsuan hadits oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan : Pertama, golongan ‘Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan syi’ah. Kedua, golongan khawarij, yang menentang ‘Ali, dan golongan Mu’awiyah, dan ketiga, golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu).

Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa At-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisan & pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau asas inisiatif pemerintah. Adapun yang atas perseorangan, sebelum abad II H hadits sudah banyak di tulis, baik pada masa tabi’in, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi Saw. Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz tahun 101 H. Pada saat itu banyak perowi hadits yang meninggal, sehingga Khalifah Umar Ibn Aziz berinisiatif untuk membukukan & mengumpulkan hadits-hadits dalam satu buku dari para perowinya langsung.

Sekalipun demikian, yang dapat ditegaskan sejarah sebagai pengumpul hadits adalah :

1. Pengumpul pertama di kota Mekkah, Ibnu Juraij (80-150 H)
2. Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)
3. Pengumpul pertama di kota Bashrah, Al-Rabi’ Ibn Shabih (w. 160 H)
4. Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H)
5. Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza’i (w. 95 H)
6. Pengumpul pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (w.104-188 H)
7. Pengumpul pertama di Yaman, Ma’mar Al-Azdy (95-153 H)
8. Pengumpul pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)
9. Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11-181 H)
10. Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa’ad (w. 175 H).

5. Periode Kelima : Masa Men-tashih-kan Hadits dan Penyusunan Kaidah-Kaidahnya
Abad ketiga Hijriyah merupakan puncak usaha pembukuan hadits. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa’ – Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan enghapal hadits, mengumpulkan, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadits.
Para ulama pada mulanya menerima hadits dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan shahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadits dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadits, para ulama pun melakukan hal-hal berikut.
a.membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa, dan lain-lain.
b.memisahkan hadits-hadits yang shahih dari hadits yang dha’if yakni dengan men-tashih-kan hadits.
Tokoh-tokoh dalam masa ini yaitu : ‘Ali Ibnul Madany, Abu Hatim Ar-Razy, Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Muhammad Ibn Sa’ad, Ishaq Ibnu Rahawaih, Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’I, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah & Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri.

6. Periode Keenam : Dari Abad IV hingga tahun 656 H (yaitu pada masa ‘Abasiyyah angkatan ke-2).
Periode ini dinamakan ‘Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-Jami’.
Ulama-ulama hadits yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, digelari mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadits semata-mata atas usaha sendiri & pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghapalnya di berbagai pelosok negeri.
Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat yang degelari ‘mutaakhirin’. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan itu petikan dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikityang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghapalnya.
Di antara usaha-usaha ulama hadits yang terpenting dalam periode ini adalah: mengumpulkan hadits Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab, mengumpulkan hadits-hadits dalam enam kitab, mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab, mengumpulkan hadits-hadits hukum & menyusun kitab-kitab ‘Athraf.

7. Periode Ketujuh (656 H-sekarang)
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu’tashim (w. 656 H) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al-Jami’ wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-takhrij-an, dan pembahasan.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadits, menyaringnya dan menyusun kitab enam takhrij, serta membuat kitab-kitab Jami’ yang umum.
Sebagaimana periode keenam, periode ketujuh ini pun muncul ulama-ulama hadits yang menyusun kitab ‘Athraf.

Tokoh-tokoh hadits yang terkenal pada masa ini adalah : Adz-Dzahaby (748 H), Ibnu Sayyidinnas (734 H), Ibnu Daqiq Al-’Ied, Mughlathai (862 H), Al-Atsqalany (852 H), Ad-Dimyati (705 H), Al-’Ainy (855 H), As-Suyuthi (911 H), Az-Zarkasy (794 H), Al-Mizzy (742 H), Al-’Alay (761 H), Ibnu Katsir (774 H), Az-Zaily (762 H), Ibnu Rajab (795 H), Ibnu Mulaqqin (804 H), Al-Bulqiny (805 H), Al-’Iraqy (w. 806 H), Al-Haitsamy (807 H), dan Abu Zurah (826 H).

Fiqih; Pengertian Zakat, Infaq dan Shodaqoh

Fiqih; Pengertian Zakat, Infaq dan Shodaqoh
Di Posting Oleh : Admin
Kategori : Fiqih Blog Tutorial, Teknologi dan Kesehatan: Mangaip Blog | Berita Terkini dan Terbaru: Terbaru.co.id

Pengertian Zakat, Infak, dan sedekah – Al-Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah memberikan peringatan bahwa di tengah masyarakat telah tersebar penggunaan istilah-istilah syariat yang tidak sebagaimana mestinya. Akibat dari kecerobohan ini terjadilah penyimpangan dan kesalahan fatal dalam kehidupan beragama masyarakat. (I’ilamul Muwaqiin, 4:216).

Untuk itu, CitraIslam.com mengajak Anda untuk lebih jauh mengenal dengan baik berbagai istilah syariat. Harapannya kita semakin dekat dengan agama Allah, dan selanjutnya Allah-pun semakin dekat dengan kita. Berikut kita simak Perbedaan zakat, infak dan shadaqah.
Pengertian Zakat

Di masyarakat beredar pemahaman bahwa zakat adalah sejumlah harta yang telah ditentukan jenis,  kadar, dan yang dibayarkan berhak menerimanya pada waktu yang telah ditentukan pula. Dan zakat inilah yang merupakan salah satu rukun agama Islam. Allah tegaskan dalam Alquran, yang artinya,

“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. Al Baqarah 43)

Pemahaman di atas benar, namun perlu diingat kadangkala para ulama menggunakan kata zakat pada zakat sunah.

Ibnul Arabi berkata: Kata zakat digunakan untuk menyebut zakat wajib, namun kadang kala juga digunakan untuk menyebut zakat sunah, nafkah, hak, dan memaafkan suatu kesalahan.” (Fathul Bari, 3:296)
Arti Sedekah

Kata sedekah dalam banyak dalil memiliki makna yang sama dengan kata zakat, sebagaimana disebutkan pada ayat berikut, yang artinya,

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At Taubah: 103)

Dalam hadis yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:

“Bila anak Adam meninggal dunia maka seluruh pahala amalannya terputus, kecuali pahala tiga amalan: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang senantiasa mendoakan kebakan untuknya.” (QS. at-Tirmidzi dan lainnya)

Berdasarkan ini semua, Imam Mawardi menyimpulkan: Sedekah adalah zakat dan zakat adalah sedekah. Dua kata yang berbeda teksnya namun memiliki arti yang sama. (al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Hal. 145)

Dengan demikian sedekah mencakup yang wajib dan mencakup pula yang sunah, asalkan bertujuan untuk mencari keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla semata. Oleh karena itu, sering kali Anda tidak perduli bahkan mungkin tidak merasa perlu untuk mengenal nama penerimanya.

Namun demikian, dalam beberapa dalil, kata sedekah memiliki makna yang lebih luas dari sekedar membayarkan sejumlah harta kepada orang lain. Sedekah dalam beberapa dalil digunakan untuk menyebut segala bentuk amal baik yang berguna bagi orang lain atau bahkan bagi diri sendiri.

Suatu waktu sekelompok sahabat miskin mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal rasa cemburu mereka terhadap orang-orang kaya. Orang-orang kaya mampu mengamalkan sesuatu yang tidak kuasa mereka kerjakan yaitu menyedekahkan harta yang melebihi kebutuhan mereka. Menanggapi keluhan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan solusi kepada mereka melalui sabdanya:

“Bukankah Allah telah membukakan bagi kalian pintu-pintu sedekah? Sejatinya setiap ucapan tasbih bernilai sedekah bagi kalian, demikian juga halnya dengan ucapan takbir, tahmid, dan tahlil. Sebagaimana memerintahkan kebajikan dan melarang kemungkaran juga bernilai sedekah bagi kalian. Sampai pun melampiaskan syahwat kemaluan kalian pun bernilai sedekah.” Tak ayal lalgi para sahabat keheranan mendengar penjelasan beliau ini, sehingga mereka kembali bertanya: “Ya Rasulullah, apakah bila kita memuaskan syahwat, kita mendapatkan pahala?” Beliau menjawab: “Bagaimana pendapatmu bila ia menyalurkannya pada jalan yang haram, bukankah dia menanggung dosa?” Demikian pula sebaliknya bila ia menyalurkannya pada jalur yang halal, maka iapun mendapatkan pahala. (HR. Muslim)
Arti Infak

Kata infaq dalam dalil-dalil Alquran, hadis dan juga budaya ulama memiliki makna yang cukup luas, karena mencakup semua jenis pembelanjaan harta kekayaan. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67).

Hal tersebut serupa  juga nampak dengan jelas pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

“Kelak pada hari Qiyamat, kaki setiap anak Adam tidak akan bergeser dari hadapan Allah hingga ditanya perihal lima hal: umurnya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa ia lewatkan, harta kekayaannya dari mana ia peroleh dan kemana ia infakkan (belanjakan) dan apa yang ia lakukan dengan ilmunya.” (HR. at-Tirmidzi)

Kemanapun dan untuk tujuan apapun, baik tujuan yang dibenarkan secara syariat ataupun diharamkan, semuanya disebut dengan infak. Oleh karena itu, mari kita simak kisah perihal ucapan orang-orang munafik yang merencanakan kejahatan kepada Rasulullah dan para sahabatnya, Allah ceritakan, yang artinya,

“Sesungguhnya orang-orang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi penyesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahanamlah orang-orang kafir itu dikumpulkan.”  (QS. Al-Anfal: 36)

Oleh karena itu pada banyak dalil perintah untuk berinfak disertai dengan penjelasan infak di jalan Allah, sebagaimana pada ayat berikut, yang artinya,

“Dan infakkanlah/belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah.” (QS. Al-Baqarah: 195).

 Sumber: http://www.citraislam.com/pengertian-zakat-infaq-dan-shadaqah/

Pengertian Hibah dan Penjelasan Hibah

Pengertian Hibah dan Penjelasan Hibah
Di Posting Oleh : Admin
Kategori : Fiqih Blog Tutorial, Teknologi dan Kesehatan: Mangaip Blog | Berita Terkini dan Terbaru: Terbaru.co.id

Hibah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia hidup tanpa adanya imbalan sebagai tanda kasih sayang.

Firman Allah SWT. :
وَأَتَىالْمَالَ عَلَىحُبِّهِ ذَوِىالْقُرْبَىوَالْيَتَمَىوَالْمَسَاكِيْنِ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالسَّائِلِيْنَ وَفِىالرِّقَابِ
Artinya“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta dan (memerdekakan) hamba sahaya” (QS. Al Baqarah : 177).
Memberikan Sesutu kepada orang lain, asal barang atau harta itu halal termasuk perbuatan terpuji dan mendapat pahala dari Allah SWT. Untuk itu hibah hukumnya mubah.
Sabda Nabi SAW. :
“Dari Khalid bin Adi, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. telah bersabda, : “Barang siapa yang diberi oleh saudaranya kebaikan dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak ia minta, hendaklah diterima (jangan ditolak). Sesungguhnya yang demikian itu pemberian yangdiberikan Allah kepadanya” (HR. Ahmad).
Hibah adalah Pemberian harta dari seseorang kepada orang lain dengan alih pemilikan untuk dimanfaatkan sesuai kegunaannya dan langsung pindah pemilikannya saat aqad hibah dinyatakan.
1.      Rukun dan Syarat Hibah
a.       Pemberi Hibah (Wahib)
Syarat-syarat pemberi hibah (wahib) adalah sudah baligh, dilakukan atas dasar kemauan sendiri, dibenarkan melakukan tindakan hukum dan orang yang berhak memiliki barang[1].
b.      Penerima Hibah (Mauhub Lahu)
Syarat-syarat penerima hibah (mauhub lahu), diantaranya :
Hendaknya penerima hibah itu terbukti adanya pada waktu dilakukan hibah. Apabila tidak ada secara nyata atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti janin yang masih dalam kandungan ibunya maka ia tidak sah dilakukan hibah kepadanya.
c.       Barang yang dihibahkan (Mauhub)
Syarat-syarat barang yang dihibahkan (Mauhub), diantaranya : jelas terlihat wujudnya, barang yang dihibahkan memiliki nilai atau harga, betul-betul milik pemberi hibah dan dapat dipindahkan status kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada penerima hibah.
d.      Akad (Ijab dan Qabul),
Akad (ijab qobul) misalnya si penerima menyatakan “saya hibahkan atau kuberikan tanah ini kepadamu”, si penerima menjawab, “ya saya terima pemberian saudara”.
2.       Macam-macam Hibah
Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :
1.      Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi (harapan) apapun. Misalnya  menghibahkan rumah, s\\epeda motor, baju dan sebagainya.
2.      Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.
3.      Mencabut Hibah
Jumhur ulama berpendapat bahwa mencabut hibah itu hukumnya haram, kecualii hibah orang tua terhadap anaknya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. :
لاَيَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُعْطِىعَطِيَّةًأَوْيَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعُ فِيْهَا إِلاَّالْوَالِدِفِيْمَايُعْطِىلِوَلَدِهِ
Artinya: “Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya” (HR. Abu Dawud).
Sabda Rasulullah SAW.
Artinya: “Orang yang menarik kembali hibahnya sebagaimana anjing yang muntah lalu dimakannya kembali muntahnya itu” (HR. Bukhari Muslim).[2]
Hibah yang dapat dicabut, diantaranya sebagai berikut :
  1. Hibahnya orang tua (bapak) terhadap anaknya, karena bapak melihat bahwa mencabut itu demi menjaga kemaslahatan anaknya.
  2. Bila dirasakan ada unsur ketidak adilan diantara anak-anaknya, yang menerima hibah..
  3. Apabila dengan adanya hibah itu ada kemungkinan menimbulkan iri hati dan fitnah dari pihak lain.
4.      Hukum hibah
Pada dasarnya memberikan sesuatu kepada oranglain hukumnya adalah mubah(jaiz). Dalam hukum asal mubah tersebut hukum hibah dapat menjadi wajib,haram dan makruh.
a.       Wajib.
Hibah yang diberikan kepada istri dan anak hukumnya wajib sesuai dengan kemampuannya. Rosululloh SAW bersabda yang artinya:
Artinya: “Bertaqwalah kalian kepada Allah dan adillah terhadap anak anak kalian.
b.      Haram
Hibah menjadi haram hukumnya apabila harta yang telah dihibahkan ditarik kembali.
c.       Makruh
Menghibahkan sesuatu dengan maksud mendapatkan imbalan sesuatu baik berimbang maupun lebih banyak hukumnya adalah makhruh.
5.        Hikmah Hibah
Adapun hikmah hibah adalah :
  1. Menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama
  2. Menumbuhkan sikap saling tolong menolong
  3. Dapat mempererat tali silaturahmi
  4. Menghindarkan diri dari berbagai malapetaka.


[1]Abu Bakr Jabir Al-jazairi, Ensiklopedi Muslim  (Jati waringin: 2009) hal. 568-572.
[2]Abu Bakr Jabir Al-Jaza’iri Pedoman Hidup Muslim  Jakarta 2008 hal 681-685.

Mengenal Perbedaan Ushul Fiqh dan Fiqh

Mengenal Perbedaan Ushul Fiqh dan Fiqh
Di Posting Oleh : Admin
Kategori : Pengetahuan Blog Tutorial, Teknologi dan Kesehatan: Mangaip Blog | Berita Terkini dan Terbaru: Terbaru.co.id

Perbedaan Ushul Fiqh dan Fiqh - Banyak yang kebingungan antara membedakan ushul fikih dan fiqih, banyak orang mengatakan kalau ushul fiqih dan fiqih itu sama, dan juga banyak yang mengatakan ushul fiqih dan fiqih itu tyidak sama. untuk menjawab semua itu berikut penjelasan tentang perbedaan ushul fiqih dan fiqih:

Fikih

Pembahasan ilmu fiqh berkisar tentang hukum-hukum syar’i yang langsung berkaitan dengan amaliyah seorang hamba seperti ibadahnya, muamalahnya, apakah hukumnya wajib, sunnah, makruh, haram, ataukah mubah berdasarkan dalil-dalil yang rinci.

Ushul Fikih

Sedangkan ushul fiqh berkisar tentang penjelasan metode seorang mujtahid dalam menyimpulkan hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil yang bersifat global, apa karakteristik dan konsekuensi dari setiap dalil, mana dalil yang benar dan kuat dan mana dalil yang lemah, siapa orang yang mampu berijtihad, dan apa syarat-syaratnya.

Perumpamaan ushul fiqh dibandingkan dengan fiqh seperti posisi ilmu nahwu terhadap kemampuan bicara dan menulis dalam bahasa Arab, ilmu nahwu adalah kaidah yang menjaga lisan dan tulisan seseorang dari kesalahan berbahasa, sebagaimana ilmu ushul fiqh menjaga seorang ulama/mujtahid dari kesalahan dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh.

Rabu, 08 Mei 2013

Mengenal Asas-Asas Hukum Acara Pidana

Mengenal Asas-Asas Hukum Acara Pidana
Di Posting Oleh : Admin
Kategori : Hukum Blog Tutorial, Teknologi dan Kesehatan: Mangaip Blog | Berita Terkini dan Terbaru: Terbaru.co.id

Dalam hukum acara pidana terdapat beberapa macam asas-asas yaitu:

  1. Asas Inquisitoir. Asas Inquisitoir adalah asas yang menjelaskan bahwa setiap pemeriksan yang dilakukan harus dengan cara rahasia dan tertutup. Asas ini menempatkan tersangka sebagai obyek pemeriksaan tanpa memperoleh hak sama sekali. seperti bantuan hukum dan ketemu dengan keluarganya. Asas ini diatur dalam Pasal 164 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
  2. Asas Accusatoir. Asas accusatoir menunjukkan bahwa seorang tersangka/tersangka yang diperiksa bukan menjadi obyek tetapi sebagai subyek. Asas ini memperlihatkan pemeriksaan dilakukan secara terbuka untuk umum. Dimana setiap orang dapat menghadirinya.
  3. Asas Opportunitas. Asas oportunitas adalah memberi wewenang pada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut seorang pelaku dengan alasan kepentingan umum. Asas inilah yang dianut Indonesia contohnya, seseorang yang memiliki keahlian khusus dan hanya dia satu-satunya di negara itu maka dengan alasan ini JPU boleh memilih untuk tidak menuntut. Asas ini diatur dalam Pasal 32 C UU Nomer 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan.
  4. Asas Jaksa Sebagai Penuntut Umum dan Polisi Sebagai Penyidik. Menurut Pasal 1 Angka 6 Huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut Pasal 1 Angka 6 Huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Penyelidik menurut Pasal 1 Angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) – Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh UU ini untuk melakukan penyelidikan.
  5. Asas Personalitas Aktif. Asas Personalitas merupakan asas personalitas bertumpu pada kewarganegaraan pelaku tindak pidana. Artinya, hukum pidana suatu negara mengikuti ke manapun warga negaranya. Dengan demikian, hukum pidana Indonesia akan selalu mengikuti warga Negara Indonesia ke mana pun ia berada, asas ini diatur dalam Pasal 5-7 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
  6. Asas Persamaan. Asas Equality Before The Law, artinya setiap orang harus diperlakukan sama didepan hukum tanpa membedakan suku, agama, pangkat , jabatan dan sebagainya. Asas ini diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 Ayat (1) UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 5 Ayat (1) UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
  7. Asas Perintah Tertulis dari yang Berwenang. Artinya bahwa setiap penangkapan, penggeledahan, penahanan dan penyitaan harus dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang diberi wewenang oleh UU dan hanya dalam hal dan cara yang diatur oleh UU.
  8. Asas Praduga Tak Bersalah. Presumption of innocense artinya seseorang harus dianggap tidak bersalah sebelum dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Asas ini diatur dalam Pasal 8 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Pasal 8 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  9. Cepat, Singkat, Biaya Ringan, Jujur, Bebas, Tidak Memihak. Asas contente justitie serta fairtrial. Asas ini menghendaki proses pemeriksaan tidak berbelit-belit dan untuk melindungi hak tersangka guna mendapat pemeriksaan dengan cepat agar segera didapat kepastian hukum. Asas ini diatur dalam Pasal 24 dan 50 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
  10. Sidang Terbuka Untuk Umum. Sidang pemeriksaan perkara pidana harus terbuka untuk umum, kecuali diatur oleh UU dalam perkara tertentu seperti perkara kesusilaan, sidang tertutup untuk umum tetapi pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Asas ini diatur dalam Pasal 64 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 64 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.
  11. Asas Adanya Bantuan Hukum. Seseorang yang tersangkut perkara pidana wajib diberi kesempatan untuk memperoleh Bantuan Hukum secara cuma-cuma untuk kepentingan pembelaan dirinya. Asas ini diatur dalam Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 37 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini (Pasal 37 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
  12. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi. Hak bagi tersangka/terdakwa/terpidana untuk mendapatkan ganti rugi/rehabilitasi atas tindakan terhadap dirinya sejak dalam proses penyidikan. Asas ini diatur dalam Pasal 95 dan 97 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
  13. Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan. Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (2) huruf a Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 153 ayat (2) huruf a Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : hakim ketua siding memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa indonesia yang dimengerti terdakwa dan saksi. Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : pada permulaan sidang hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir,umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaanya serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang.
  14. Hadirnya Tersangka Dalam Pengadilan. Pangadilan dalam memeriksa perkara pidana harus dengan hadirnya terdakwa.
  15. Pemberitahuan Apa yang Didakwakan. Bahwa setiap pemeriksaan di Hapid para pihak (tersangka dan pengacara) wajib diberitahukan dasar hukumnya, serta wajib diberitahukan hak-haknya.
  16. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap. Ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan ini diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala Negara. Asas ini diatur dalam pasal 31 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 1 Angka 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 Angka 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili (Pasal 31 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.
  17. Asas Legalitas. Dalam hukum pidana yang mengatakan bahwa tiada  suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuaan perundang-undangan pidana yang telah ada (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Previa Lege Poenali). Asas ini tercantum dalam Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) : Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada 2. Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya

Makalah Tentang Pengertian Sabar

Pengertian Sabar | Sabar bukan hanya karena manusia itu gagal. Namun jikapun berhasil maka sabarlah yang akan menyelamatkan manusia agar te...