Selasa, 17 Maret 2015

Makalah; HUKUM ADAT PERTANAHAN

Makalah; HUKUM ADAT PERTANAHAN
Di Posting Oleh : Admin
Kategori : Makalah Blog Tutorial, Teknologi dan Kesehatan: Mangaip Blog | Berita Terkini dan Terbaru: Terbaru.co.id

Pada makalah ini akan menjelaskan tentang hukum adat pertanahan dengan detail, semoga dapat bermanfaat, jika ada kesalahan silahkan berikan komentar.

A.HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT.
1.PENGERTIAN HAK ULAYAT.

Secara etimologi kata Ulayat identik dengan arti wilayah, kawasan, nagari, marga. Sedang kata Hak mempunyai arti “(yang) benar, milik (kepunyaan), kewenangan , kekuasaan untuk berbuat sesuatu.

Secara harfiah Hak Ulayat diartikan sebagai kewenangan masyarakat hukum adat atas tanah dalam lingkungan/wilayah/daerah tertentu untuk menguasai dalam arti mengambil dan memanfaatkan tanah untuk kepentingan masyarakat hukum dan anggota2nya.

Istilah Hak Ulayat di jumpai dalam pasal 3 UUPA, namun tidak ada satu rumusan pengertian hak ulayat secara jelas. Dalam Penjelasan pasal 3 UUPA, hanya disebutkan bahwa hak ulayat dan hak2 serupa itu ialah apa yang ada di dalam perpustakaan hukum adat disebut dengan BESCHIKKINGSRECHT.

Menurut Maria SW Sumardjono, Hak Ulayat sebagai istilah teknik yuridis adalah yang melekat sebagai kompensasi khas pada masyarakat hukum adat berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah sisinya dengan hanya berlaku ke dalam dan ke luar. 


Penyebutan “hak ulayat” dan “masyarakat hukum adat “ dalam pasal 3 dan pasal 2 ayat (4) UUPA tidak jelas dan samar samar, dan bahkan kurang tersosialisasi serta tidak dimanfaatkan, sehingga menjadi pasal yang tidur.

Pengertian masyarakat hukum terdapat pada PMNA/Ka BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, dalam pasal 1 ayat (3) dikatakan bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal atau dasar keturunan.

Dalam penjelasan umum II angka 3 UUPA menunjukkan bahwa Hak Masyarakat Hukum Adat atas tanah tersebut hak ulayat oleh Hukum Tanah Nasional Indonesia diakui sebagai hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 3 UUPA.

Hak Ulayat disebut beschikkingsrecht yang berarti hak menguasai tanah dalam arti kekuasaan masyarakat hukum itu tidak sampai pada kekuasaan menjual tanah di wilayahnya.

Menurut van Vollenhoven, Hak Ulayat itu adanya hanya di Indonesia, yaitu suatu hak yang tidak dapat dipecah dan mempunyai dasar keagamaan.

Ada 3 Ciri Utama Hak Ulayat :
1.Hanya dapat dimiliki oleh persekutuan ;
2.Tidak dapat dimiliki oleh perorangan ;
3.Apabila dilepaskan sementara kepada orang asing, maka orang asing tersebut harus membayar kerugian berupa cukai (pajak) kepada persekutuan hukum sebagai pengganti penghasilan yang hilang.

hukum adat


Menurut C.C.J.Massen dan A.P.G Hens, pengertian hak ulayat adalah hak desa menurut adat untuk menguasai tanah dalam lingkungan daerahnya buat kepentingan anggota-anggotanya, atau unt kepentingan orang lain ( org asing ) dengan membayar kerugian kepada desa, yang desa itu sedikit banyak turut campur dengan membukakan tanah itu dan turut bertanggung jawab terhadap perkara-perkara yang terjadi disitu yang belum dapat diselesaikan.

Menurut ter Haar, Beschikkingsrecht adalah hak persekutuan hukum masyarakat, merupakan hak kolektif dan bukan hak individu yang dapat dimiliki oleh seseorang  atau keluarga.

J.C.T. Simorangkir, Hak Ulayat adalah hak dari persekutuan hukum/masyarakat untuk menggunakan/mengolah tanah2 disekeliling tempat kediaman/desa mereka guna kepentingan persekutuan hukum itu atau kepada orang2 luar yang mau mengerjakan tanah itu dengan memberikan sebagian dari hasilnya kepada masyarakat.

Imam Sudiyat, pengertian hak2 ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu suku/clan, gens, stam, sebuah serikat desa  (dorpendbord) atau biasanya oleh sebuah desa saja  untuk menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya.





Hak Ulayat adalah hak dari masyarakat hukum untuk menguasai tanah dalam wilayahnya, mempunyai kewenangan  dan kekuasaan untuk mengatur dan pemanfaatan penggunaan/pengelolaannya bagi kepentingan  masyarakat hukum, mempunyai hubungan yang bersifat abadi sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan dari persekutuan hukum.

Ciri2 dari Hak Ulayat :
1.Subjeknya adalah masyarakat hukum ;
2.Objeknya adalah wilayah dengan batas2 tertentu ;
3.Adanya kewenangan (hak dan kewajiban) berdasarkan hukum adat ;
4.Sifat hubungan yang abadi (lahiriah dan batiniah), turun temurun antara masyarakat hukum dengan tanah.
5.Anggota masyarakat hukum adat mengambil hasil dari tanah untuk kelangsungan hidup dan penghidupan.

Hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah tersebut masuk ke dalam bidang hukum publik dan hukum perdata. Dikatakan masuk hukum publik, karena adanya tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan , penguasaan, penggunaan/pemanfaatan dan pemeliharaan tanah ulayat oleh para warga bersama. Sedang dikatakan masuk Hukum Perdata, karena mengandung arti bahwa tanah ulayat dimiliki atau merupakan hak bersama.

Bentuk masyarakat hukum adat adalah Desa, marga, nagari, suku dan istilah lainnya yang berlaku dimasing-masing wilayah.


Hak Ulayat mempunyai kekuatan ke dalam dan keluar. Kekuatan Ke Dalam artinya bahwa Hak Ulayat menjamin kehidupan anggota masyarakat hukum adat dalam lingkungan ulayat tersebut. Kekuatan Ke Luar artinya bahwa Hak Ulayat dapat dimanfaatkan oleh orang luar (pendatang) yang bukan anggota masyarakat hukum yang memiliki hak ulayat dengan mendapatkan ijin terlebih dahulu dari pemimpin masyarakat hukum ybs., dengan sebatas menikmati hasil.

BATAS-BATAS HAK ULAYAT.
Biasanya batas wilayah ditentukan dengan cara menentukan batas-batas disekeliling wilayahnya dengan batas fisik berupa batu, penanaman pohon, bukit, sungai dan sebagainya. Menunjuk Pejabat tertentu dan mengadakan patroli perbatasan untuk mengawasi wilayah hak ulayat. Untuk menentukan batas wilayah diperlukan adanya kerjasama antara masyarakat hukum yang satu dengan masyarakat hukum lainnya yang berbatasan, sehingga diperoleh kejelasan dan ketegasan mengenai batas wilayah hak ulayat dan konflik yang mungkin timbul terhadap ketidak jelasan perbatasan dapat diminimalisir.
   
 
 KEWENANGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT.
Dalam struktur Masyarakat Hukum Adat terdapat hubungan yang erat antara masyarakat dengan tanah sbb :

Bersifat kebatinan, adanya suatu kepercayaan bahwa tanah adalah sumber hidup yg harus dihormati oleh anggota masyarakat. Kepercayaan ini menimbulkan kebiasaan dlm masyarakat untuk mengadakan upacara2 tertentu.
Bersifat Ekonomi, tanah merupakan pemberi sumber kehidupan masy hukum,  karena itu berwenang untuk menentukan pemakaian tanah bagi kepentingan masyarakat, disamping ditentukan pemakaian tanah milik perorangan.
Bersifat sosial, artinya bahwa masyarakat hukum bertanggung jawab bersama atas terjadinya kejahatan dlm lingkungan wilayahnya.

Ada 2 hubungan manusia dengan tanan :
Pertama,  Hubungan antara masyarakat dengan tanah kaitannya dengan hak ulayat selalu ada hubungan timbal balik. Jika Hak Ulayat itu semakin kuat, maka tidak ada kemungkinan hak itu dapat berpindah kepada orang lain, begitu sebaliknya, jika hak ulayat itu melemah, maka akan tergantung kpd persekutuan hukum untuk menetapkan siapa yang akan menjadi pemiliknya, dan beralih kepada kekuasaan perorangan yang akhirnya dapat bergeser ke arah hak milik dengan pewarisan. Dalam hal ini lahirlah hak milik atas tanah, misalnya hak yasan, hak turun temurun, hak milik adat dsbnya.
Menurut paham Hukum Adat, tanah berfunsi sosial, artinya bahwa pemberian suatu hukum atas tanah harus dipergunakan dengan memperhatikan kepentingan ulayat (masyarakat), ciri yang menonjol dalam fungsi sosial adalah sifat kebersamaan. 

Kedua,  adanya hubungan bangsa Indonesia dengan tanah yang bersifat abadi, dimana dalam rumusan psl 1 ayat (1) UUPA hubungan tersebut disebut “hak bangsa Indonesia”. Dalam hukum adat hubungan seperti itu disebut Hak Ulayat, yaitu hubungan hukum seluruh warga/anggota masyarakat hukum adat dengan tanah di wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan.

Menurut Soerojo Wignjodipoero, adanya hubungan yang erat masyarakat hukum adat dengan tanah dipengaruhi oleh dua faktor  yaitu :
Dilihat dari sifatnya, tanah dipandang sebagai harta kekayaan yang bersifat kekal, karena tanah tidak akan musnah dalam keadaan bagaimanapun, dan bahkan kadang-kadang lebih menguntungkan.
Dalam kenyataan, tanah itu berfungsi sebagai tempat tinggal bagi persekutuan maupun bagi anggota masyarakat, tempat untuk mencari kehidupan, tempat kuburan bagi mereka, tempat tinggal bagi roh para leluhur yang dianggap sebagai pelindung persekutuan.

Kewenangan  atau hak menguasai masyarakat hukum atas tanah di lingkungan persekutuan hukum berpokok pangkal pada suatu hak penguasaan dimana masyarakat hukum dapat mengurus atau mengolah, menguasai dan menggunakannya untuk kepentingan bersama. Kewenangan itu dijalankan oleh kepala pereskutuan baik dalam bidang publik maupun bidang perdata. Kewenangan tersebut dapat disebut dengan istilah Hak Ulayat (Ps.3 UUPA),  Hak Pertuanan ( Djojodiguno), Hak Purba (Imam Sudiyat). 


Wewenang Hak Ulayat adalah :
Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah ;
Mengatur dan menentukan hubungan hukum dengan tanah ;
Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang2 dan perbuatan2 hukum  berkenaan dengan tanah.
Masyarakat Hukum dengan hak ulayatnya memberikan kewenangan tertentu kepada masyarakat hukum adat sebagai sumber, dasar pelaksanaan dan ketentuan cara pelaksanaannya adalah berdasarkan hukum adat masyarakat hukum yang bersangkutan. Kewenangan tersebut meliputi :
Hak penguasaan tanah oleh para warganya yang apabila dikehendaki oleh para pemegangnya dapat didaftarkan sebagai hak atas tanah yang sesuai dengan ketentuan pasal 4 ayat (1) huruf a) PMNA/ka BPN No. 5 tahun 1999, dan
Pelepasan tanah untuk kepentingan orang luar dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku sesuai pasal 4 ayat (1) huruf b) PMNA/Ka BPN No. 5 tahun 1999.

PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR HAK ULAYAT.
UUPA No. 5 Tahun 1960.
Pasal 3 UUPA berbunyi  : “dengan mengingat ketentuan2 paszal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak yang serupa itu dari masyarakat hukum Adat, sepanjang kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara  yang berdasarkan atas persatuan bangsa  serta tidak bertentangan dengan Undang Undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.”

Pasal 5 berbunyi : “ Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur  yang berdasar pada hukum Agama.”

Pasal 3 dan 5 tersebut adalah pengakuan yuridis formal terhadap hak ulayat. Pengakuan yang tegas itu juga mengakui bahwa yang mengatur kepengurusan, penguasaan dan penggunaan hak ulayat adalah Hukum Adat (setempat).
Pengakuan Hak Ulayat secara yuridis formal dilakukan dengan 2 syarat :
Syarat tentang eksistensinya, yaitu hak ulayat diakui sepanjang kenyataannya masih ada yang mencakup 3 unsur, yaitu subyek, obyek dan kewenangan masyarakat hukum adat.
Syarat tentang pelaksanaannya, ditentukan bahwa pelaksanaan hak ulayat :
Harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dan
Tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Di samping pasal 3 dan 5 pengakuan yuridis formal ini juga dapat dilihat di dalam ketentuan pasal 2 ayat (4), Pasal 22 ayat (1), pasal 56 dan penjelasan umum ll angka 3 UUPA.

Pengakuan Hak Ulayat tersebut mengandung pengertian :
Pemberian kedudukan/status hukum Hak Ulayat  merupakan perwujudan dari hubungan yg erat antara warga masyarakat dengan tanah dan juga hubungan abadi antara kesatuan tanah air dengan bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Pengakuan secara yuridis Hak Ulayat berdasarkan ketentuan  tersebut telah menempatkan posisi Hak Ulayat pada posisi yang sulit.
Persyaratan ,antara lain adanya kewenangan masyarakat hukum adat dalam mengatur dan mengurus penggunaan tanah hak ulayat, sudah sangat sulit terjadi mengingat sistem pemerintahan Indonesia yang tidak lagi memungkinkan masyarakat hukum adat mengambil peran tersebut.
Kalau dalam kenyataan memang ada hak ulayat, akan muncul lagi halangan berikutnya , yakni klausula “sesuai kepentingan nasional dan negara” sangat abstrak dan dapat ditafsirkan sangat luas.

Beberapa Pendapat menyatakan bahwa Hak Ulayat pada posisi yang lemah :
Menurut Boedi Harsono, UUPA dalam hukum nasional kita tidak menghapus hak ulayat, tetapi juga tidak mengaturnya. Mengatur hak ulayat dapat melanggengkan eksistensi hak ulayat yang bersangkutan. Padahal perkembangan masyarakat menunjukkan kecenderungan akan hapusnya hak ulayat tersebut melalui proses secara alamiah, yaitu dengan menjadi kautnya hak2 perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Soedargo Gautama berpendapat, penyebutan hak ulayat yang dilakukan secara tegas oleh UUPA  mempunyai arti bahwa Hak Ulayat diakui dan diperhatikan seperlunya . Hak Ulayat dihormati sepanjang kenyataannya masih ada. Tetapi pengakuan hak ulayat ini tidak boleh sedemikian jauhnya, sampai-sampai masyarakat hukum  yang bersangkutan berdasarkan hak ulayat ini dapat menghalangi pemberian hak guna usaha (HGU)  itu, sedangkan pemberian hak tersebut di daerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas.
Ali Achmad Komzah, menyebutkan bahwa Hak ulayat di dalam UUPA pada hakekatnya  merupakan pengakuan adanya hak ulayat di dalam hukum Agraria yang baru dengan syarat :
sepanjang hak ulayat menurut kenyataannya masih ada pada masyarakat hukum.
Kepentingan suatu masy hukum tersebut harus sesuai dan/atau tunduk dengan kepentingan  nasional dan negara yang lebih tinggi.
Tidak boleh bertentangan dengan UU dan Peraturan yang lebih tinggi.

UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Semua hutan dalam wilayah RI termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara. Semua Hutan yang ditumbuh di atas tanah yang bukan tanah milik adalah hutan negara. Akibatnya hutan masyarakat adat yang berada dalam kawasan hutan merupakan hutan negara.

UU ini memang mengakui hak masyarakat hukum adat, akan tetapi hanya terbatas pada hak untuk mendapat manfaat dari hutan yang dikelolanya sepanjang kenyataannya masih ada dan pelaksanaannya tidak mengganggu tercapainya tujuan yang dicantumkan dalam UU dan peraturan pelaksanaannya. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan - ketentuan Pokok Kehutanan dan Pasal 6 PP No 21 Tahun 1970 tentang Hak Penguasaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan.
Dalam UU No 41 Tahun 1999 merupakan pengganti UU No. 5 Tahun 1967, menentukan hal-hal sbb. :
Berdasarkan status Hutan terdiri dari Hutan Negara dan Hutan Hak. Hutan Negara dapat berupa hutan adat ( Hak Pengelolaan Hukum Adat ) ditetapkan oleh Pemerintah sepanjang kenyataannya masih ada. Dalam perkembangannya sudah tidak ada lagi, maka hak tersebut kembali pada Pemerintah ;
Pemanfaatan dilakukan sesuai fungsinya ;
Sepanjang kenyataannya masih ada, masyarakat hukum adat berhak :
Melakukan pungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat yang bersangkutan ;
Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan UU ;
Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka peningkatan kesejahteraannya.
Kriteria Keberadaan Masyarakat Hukum Adat harus menenuhi unsur :
Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban ( rechts gemeenshap );
Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya.
Ada wilayah hukum Adat yang jelas.

Perundang-undangan lain yang mengatur tentang hak ulayat adalah :
Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Untuk kepentingan Umum dan Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan Pembangunan untuk kepentingan umum.

Ketentuan ini mendapat reaksi keras dari Komisi II DPR, karena dinilai  :
Adanya kemungkinan terjadinya perlakuan diskriminatif dlm Perpres tsb khususnya  karena kepentingan umum dimaksudkan hanya untuk kepentingan  sebagian besar masy. ;
Adanya peluang terjadinya kesewenang-wenangan dlm pelaksanaan pencabutan hak atas tanah bila tidak merujuk pada UU No. 20 Th 1961;
Terdapat ketidak jelasan prinsip penghormatan dalam pengadaan tanah apakah obyek atau subyek yang dapat berakibat pengabaian terhadap hak asasi pemegang hak yang telah dijamin oleh psl 28 H ayat (4) UUD 1945.
Terbukanya ruang kolusi antara pemerintah dengan pembeli tanah dlm proses jual beli atas tanah yg telah ditetapkan sebagai hasil pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
Monopoli Pemerintah dlm pembentukan panitia pengadaan dan tim penilai/penaksir tanah memperkecil harapan pemegang hak memperoleh keadilan.
Unsur Represif (pemaksaan) terlihat pada pembatasan waktu untuk musyawarah yaitu 90 hari dan sistem konsinyasi dlm ganti rugi setelah sistem musyawarah gagal.    

Inpres No. 1 Tahun 1976 tentang singkronisasi pelaksanaan bidang keagrariaan dengan bidang kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum, dimana pada intinya bahwa Pemegang HPH, Kuasa Pertambangan yang lokasinya dikuasai oleh masyarakat adat harus dibebaskan terlebih dahulu dan memberikan ganti rugi kepada penduduk/masyarakat setempat. Termasuk tanah-tanah yang digunakan untuk proyek transmigrasi yang lokasinya dalam penguasaan masyarakat hukum adat, maka harus dimusyawarahkan terlebih dahulu dan diberikan ganti rugi.
UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Propinsi Papua, dimana secara khusus mengatur hak ulayat , kewajiban, pengakuan, penghargaan, perlindungan dan pengembangan hak2 masyarakat hukum adat oleh Pemerintah Daerah.
PMNA/Ka BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian masalah Hak Ulayat Masayarakat Hukum Adat.
Sebagai tolok ukur untuk menentukan ada tidaknya Hak Ulayat ditetapkan 3 prinsip yang harus dilakukan secara komulatif, yaitu :
Terdapat sekelompok orang yang merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu masyarakat hukum, yang mengakui dan menerapkan ketentuan2 tsb dlm kehidupan sehari-hari ;
Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup warga persekutuan hukum tsb dan dimanfaatkan sebagai tempat untuk mengambil keperluan hidup sehari-hari ;
Terdapat tatanan hukum adat mengenai kepengurusan , penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yg berlaku dan ditaati oleh warga masyarakat hukum yang bersangkutan.

Pengakuan Pemerintah dalam menentukan masih adanya Hak Ulayat menetapkan   3 syarat  yang harus dipenuhi, yakni adanya :
Masyarakat hukum adat ;
Tanah ulayat ;
Hukum adatnya masih diterapkan.
EKSISTENSI HAK ULAYAT.
    Pasal 3 UUPA mengandung pernyataan pengakuan mengenai eksistensi hak ulayat masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada, artinya hak ulayat itu tidak akan dihidupkan lagi dan tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Hak Ulayat dibiarkan menurut ketentuan masyarakat hukum adat masing2. Kepentingan masyarakat hukum adat harus tunduk pada kepentingan nasional dan hak ulayat tidak bersifat eksklusif.
    Dalam hal terjadi konflik dimasyarakat mengenai hak ulayat, maka yang menjadi dasar penyelesaian adalah ketentuan PMNA/Ka BPN No. 5 tahun 1999, sehingga di dalam memedomani ketentuan tsb haruslah diidentifikasi ciri-ciri hak ulayat sekurang-kurangnya :
Ada masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum ;
Ada wilayah dengan batas-batas tertentu yang merupakan wilayah masy hukum adat ( objek hukum )
Adanya kewenangan masyarakat hukum adat unt menguasai dan menggunakan objek hak ulayat unt kepentingan masyarakatnya berdasarkan hukum adat.
Anggota masy hukum mengambil manfaat dari tanah untuk kelangsungan hidup dan penghidupan.
Adanya hubungan lahiriah dan batiniah turun temurun antara masy hukum dg tanah

HAK PERORANGAN ATAS TANAH.

Timbulnya Hak Perseorangan adalah sbb. :
Apabila pimpinan/raja karena kekuasaannya menyatakan menjadi pemilik dari tanah persekutuan hukum ;
Apabila anggota masyarakat menarik orang luar untuk mengusahakan tanah-tanah hutan ;
Apabila anggota-anggota persekutuan menarik biaya dari orang yang mau mengusahakan tanah.,
Hak perseorangan membatasi hak persekutuan hukum, artinya bahwa apabila hak persekutuan luntur dapat melahirkan hak perseorangan, dan dapat juga karena pengusahaan tanah oleh anggota masyarakat hukum secara terus menerus karena penarikan biaya dari anggota persekutuan yang mengusahakan tanah.

Hak-hak perseorangan  yang  dikenal adalah :
Hak Milik ( membuka tanah, mewaris tanah, pembelian/penukaran/hibah )
Hak Menikmati Hasil ;
Hak Wewenang Pilih/Hak terdahulu ;
Hak wewenang Beli ;
Hak Karena Jabatan.

HAK MILIK. (Hak Milik Terikat), adalah hak dari anggota masyarakat (hak Perorangan) untuk menguasai secara penuh atas tanah.
Hak Milik Atas Tanah yang diperoleh dengan cara MEMBUKA HUTAN, maka ia berhak mengolahnya dan mengambil hasil dari yang diolahnya tersebut, dan orang lain tidak boleh mengganggunya. Tindakan ini akan mengurangi intensitas hak ulayat yang akhirnya akan melahirkan hak milik perorangan atas tanah.
Hak Milik Atas Tanah yang diperoleh dari MEWARIS TANAH, maksudnya adalah suatu tindakan penerusan tanah dari generasi ke generasi berikutnya.
Hak Milik Atas Tanah yang diperoleh dari PEMBERIAN, PENUKARAN, HIBAH. Di sini ada campur tangan dari masyarakat hukum adat untuk menjaga keadaan serba terang dan tidak terjadi kerugian bagi orang lain. Karena pada prinsipnya yang dapat menerima pemberian, penukaran dan hibah adalah orang Indonesia Asli.
    Sekalipun sifat kepemilikannya ini penuh seperti hak milik sendiri, namun tetap dibatasi oleh :
Hak ulayat masyarakat hukum ;
Kepentingan-kepentingan lain yang memiliki tanah.
Peraturan2 /hukum adat, seperti kewajiban ijin ternak orang lain masuk pada lokasi tanah sepanjang tidak dipagari.

HAK MENIKMATI HASIL, adalah hak yang diperoleh warga masyarakat hukum ataupun orang lain diluar masyarakat hukum  dengan persetujuan pimpinan masyarakat hukum untuk mengolah sebidang tanah untuk masa satu atau beberapa kali panen.
HAK WEWENANG PILIH, hak yang diberikan kepada seseorang untuk mengusahakan tanah, dimana orang itu lebih diutamakan dari orang lain, karena orang tersebut yang pertama kali membuka lahan/hutan, atau orang yang terakhir mengusahakan tanah tersebut, atau tanahnya berbatasan langsung dengan tanah belukar.
HAK WEWENANG BELI, hak yang diberikan kepada seseorang untuk membeli sebidang tanah dengan mengesampingkan orang lain, karena berhubungan dengan :
Sanak saudara atau kerabat si penjual ;
Berbatasan dengan tanah miliknya ;
Tetangga/warga/anggota masyarakat hukum/desa.
5.    HAK KARENA JABATAN, yaitu hak menikmati hasil atas sebidang tanah yang diberikan kepada pengurus atau pejabat masyarakat hukum adat selama yang bersangkutan menduduki jabatannya.


KONVERSI HAK-HAK TANAH ADAT.
Dengan  berlakunya UUPA  hak atas tanah yang diatur berdasarkan hukum adat dapat dikonversi sesuai dengan hak yang tercantum dalam UUPA, yaitu :
Hak Milik Yasan menjadi hak milik ;
Hak masy hukum adat yang tidak mungkin menjadi hak milik menjadi Hak Pakai ;’
Karena Pewarisan yang ditinggal mati pemiliknya menjadi hak milik ahli waris ;
Hak Jabatan menjadi Hak Pakai.

KEWENANGAN PERTANAHAN DALAM SISTEM HUKUM PERTANAHAN NASIONAL.
HAK MENGUASAI NEGARA, tidak bisa diartikan bahwa Negara langsung menjadi pemilik atas semua sumber daya alam. Menguasai dalam hukum diartikan sebagai yang “mengatur” tentang bagaimana terjadinya hak milik, bagaimana cara mengubah hak milik menjadi hak lain bagi fihak lain, atau bagi kepentingan umum, atau bagaimana hubungan hukum antara orang dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam.
Dasarnya adalah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, UUPA No. 5 Tahun 1960.

HAK MENGUASAI MASYARAKAT HUKUM ADAT, mengandung arti meletakkan hubungan masyarakat hukum adat dengan tanah berupa hak-hak atas tanah oleh masyarakat hukum adat dan perorangan dalam wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan.
Dengan pengakuan UUPA terhadap Hak Ulayat, maka hak menguasai masyarakat adat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan bangsa dan negara . Hal tsb juga berarti tidak boleh meniadakan hak masyarakat atau orang lain . Hak menguasai masyarakat hukum adat dapat dimohonkan kepada negara yang didasarkan pada ketentuan PMNA/Ka BPN No. 5 Th 1999.

 



 

Makalah; PENGELOLAAN WAKAF DI INDONESIA

Makalah; PENGELOLAAN WAKAF DI INDONESIA
Di Posting Oleh : Admin
Kategori : Makalah Blog Tutorial, Teknologi dan Kesehatan: Mangaip Blog | Berita Terkini dan Terbaru: Terbaru.co.id

Pengelolaan wakaf di Indonesia itu bagaimana sih? secara teori dan praktiknya bagaimana? kali ini saya akan berbagi informasi tentang wakaf dengan sebuah makalah yang menjelaskannya secara rinci.





PENGELOLAAN WAKAF DI INDONESIA

PENGELOLAAN WAKAF DI INDONESIA

A.  PENDAHULUAN
Di tengah permasalahan sosial masyarakat Indonesia dan tuntutan akan kesejahteraan ekonomi dewasa ini, eksistensi lembaga wakaf menjadi sangat urgen dan strategis. Di samping sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi spiritual, wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan pentingnya kesejahteraan ekonomi (dimensi sosial). Oleh karena itu sangat penting dilakukan pendefinisian ulang terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih relevan dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan.
Perbincangan tentang wakaf sering kali diarahkan kepada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya, sumur untuk diambil airnya. Sampai dewasa ini kebanyakan masyarakat Indonesia masih pada pemahaman bahwa pengamalan wakaf harus berwujud benda tidak bergerak khususnya tanah yang di atasnya didirikan masjid atau madrasah dan penggunaannya didasarkan pada wasiat dari pemberi wakaf (wâkif) dengan ketentuan bahwa untuk menjaga kekekalannya tanah wakaf itu tidak boleh diperjualbelikan dengan alasan apapun. Bertahan pada pemahaman seperti itu bukanlah sebuah kesalahan. Namun yang pasti Indonesia telah memiliki aturan tersendiri mengenai wakaf. Oleh karena demikian, aturan itulah yang menjadi menjadi standar pengamalan wakaf di Indonesia.
Adapun materi pada makalah ini akan difokuskan pada persoalan wakaf di Indonesia yaitu: 1) Bagaimana ketentuan peraturan dan pengelolaan wakaf di Indonesia ? 2) Bagaimana fakta dan dinamika perkembangan wakaf ? 3) Apa fatwa MUI mengenai hukum wakaf uang ? 4) Apa saja kekurangan sistem pengelolaan wakaf di Indonesia ?

B.  PERATURAN DAN PENGELOLAAN WAKAF DI INDONESIA
Pengaturan wakaf di Indonesia sebelum kedatangan kaum penjajah dilaksanakan berdasarkan ajaran Islam yang bersumber dari kitab fikih bermazhab syafi’i. Oleh karena masalah wakaf ini sangat erat kaitannya dengan masalah sosial dan adat di Indonesia, maka pelaksanaan wakaf itu disesuaikan dengan hukum adat yang berlaku di Indonesia, dengan tidak mengurangi nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam wakaf itu sendiri.
Lahirnya undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Agraria telah memperkokoh eksistensi wakaf di Indonesia. Dalam pasal 49 undang-undang tersebut dijelaskan bahwa untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya dapat diberi tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai, perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah. Untuk memberi kejelasan hukum tentang wakaf dan sebagai realisasi dari undang-undang ini, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Sejak berlakunya PP Nomor 28 Tahun 1977 ini, maka semua PERPU tentang perwakafan sebelumnya, sepanjang bertentangan dengan PP ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Sedangkan hal-hal yang belum diatur, akan diatur lebih lanjut Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan bidang wewenang dan tugas masing-masing. Langkah-langkah yang telah diambil oleh Departemen Agama sehubungan dengan tebitnya PP Nomor 28 tahun 1977 ini antara lain[1]:
1.    Mendata seluruh tanah wakaf hak milik diseluruh wilayah tanah air guna menetukan tolak ukur pengelolaan, pemberdayaan dan pembinaannya;
2.    Memberikan sertifikat tanah wakaf yang belum disertifikasi dan memberikan advokasi terhadap tanah wakaf yang bermasalah.
Menurut data yang dimiliki oleh Departemen Agama, pelaksanaan wakaf di Indonesia sampai tahun 1989 masih didominasi pada penggunaan untuk tempat-tempat ibadah seperti mesjid, pondok pesantren, mushola dan keperluan ibadah lainnya. Sedangkan penggunaan pemanfaatan untuk peningkatan kesejahteraan umum dalam bidang ekonomi masih sangat minim, bukan benda-benda produktif yang dapat mendatangkan keejahteraan umat. Menyadari tentang kekurangan ini, Departemen Agama beserta Majelis Ulama, dan pihak terkait lainnya telah berupaya memperdayakan tanah-tanah tersebut dari pengelolaan tradisional konsumtif menjadi profesional produktif dengan cara penyuluhan hukum wakaf kepada masyarakat, menyusun RUU tentang wakaf yang sesuai dengan perkembangan masa kini dan mewujudkan Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga yang mengelola wakaf secara nasional.
Pada tanggal 27 Oktober 2004 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 159. Dalam UU ini diatur hal penting tentang pengembangan wakaf, terutama tentang masalah nadir, harta benda yang diwakafkan, peruntukan harta wakaf, serta perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia dan juga tentang wakaf tunai dan produktif. Dalam UU ini, benda wakaf tidak hanya benda tidak bergerak saja, tetapi juga termasuk benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa, dan lain-lain sesuai dengan ketentuan syariat Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]
Dalam penjelasan umum UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf dijelaskan bahwa salah satu langkah stategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syari’ah.[3]
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam Penjelasan Wakaf diatur pada pasal 215, yang dimaksud dengan:
1.      Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau kerpeluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
2.      Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya.
3.      Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda miliknya.
4.      Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak uang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.
5.      Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
6.      Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah petugas pemerintah yang diangkat berdasarkan peraturan peraturan yang berlaku, berkwajiban menerima ikrar dan wakif dan menyerahkannya kepada Nadzir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian perwakafan.
7.      Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (6), diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.

C.  HUKUM WAKAF  UANG MENURUT FATWA MUI
Beberapa sumber hukum menyebutkan bahwa wakaf uang telah dahulu dipraktikkan oleh masyarakat yang menganut madhab Hanafi. Akan tetapi para ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum wakaf uang. Imam Bukhori mengungkapkan bahwa Imam Az-Zuhri (wafat 124 H) berpendapat bahwa dinar dan dirham boleh diwakafkan, caranya adalah dengan menjadikan dinar/dirham itu sebagai modal usaha, kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Wahbah az-Zuhaily juga mengungkapkan bahwa madhab hanafi membolehkan wakaf uang sebagai pengecualian, atas dasar istihsan bi al-urfi (adat istiadat) mempunyai kekuatan yang sama dengan hokum yang ditetapkan berdasarkan nash (teks) ( VIII, 1985: 162). Dasar argument madhab Hanafi adalah hadist yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Masud R.A:
"Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, maka dalam pandangan Allah pun buruk".
Cara melakukan wakaf uang menurut madhab Hanafi adalah dengan menjadikannya modal usaha yang menguntungkan dan tidak keluar dari jalur syariat Islam, lemudian keuntungannya diberdayakan untuk kepentingan umat.
Selain ulama madhab Hanafi, ada juga sebagian ulama yang mengatakan bahwa madhab SyafiI juga membolehkan wakaf uang sebagaimana ditulis oleh al-Mawardi (t.th/VII:1299).
"Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam SyafiI tentang dibolehkannya wakaf dinar dan dirham"
Mengacu pada hal itu beserta dasar-dasar hukum lain, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga membolehkan wakaf uang. Fatwa komisi fatwa MUI itu dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002. Dalam fatwa tersebut ditetapkan bahwa:
  1. wakaf uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) merupakan wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai (cash).
  2. Termasuk dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
  3. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh)
  4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara Syari
  5. Nilai pokok wakaf harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.

D.  FAKTA DAN DINAMIKA PERKEMBANGAN WAKAF
            Wakaf adalah salah satu lembaga islam yang potensial untuk dikembangkan, khususnya di Negara-negara berkembang. Berdasarkan pengalaman Negara yang lembaga wakafnya sudah maju, wakaf dapat dijadikan salah satu pilar ekonomi. Meskipun wilayah islam terpecah-pecah sebagai akibat penjajahan, namun harta wakaf yang ada di wilayah-wilayah islam yang sudah merdeka tetap terpelihara dengan baik.[4]
Turki adalah salah satu Negara yang mempunyai sejarah perwakafan yang sangat menarik untuk dipelajari. Sejak masa Turki Usmani, wakaf telah menghidupi berbagai pelayanan public dan menopang pembiayaan berbagai bangunan seni dan budaya. Selama pemerintahan republik, dengan mengadopsi hukum sipil (hukum no. 903), wakaf telah memperoleh identitas baru. Berdasarkan hukum tersebut, pemerintah Republik Turki membentuk Direktorat Jenderal wakaf yang bertugas menjalankan semua tugas kementerian wakaf yang dahulu berlaku pada era kesultanan Turki Utsmani. Bahkan pada tahun 1983, di Turki di bentuk kementrian wakaf untuk mengawasi tata kelola wakaf. Pada tahap ini, semua wakaf di Turki di atur berdasarkan peraturan perundang-undangan.
 Di Bangladesh wakaf tunai memiiki arti yang sangat penting dalam memobilisasi dana bagi pengembangan wakaf properti. Social investment Bank Ltd (SIBL) mengintrodusir sertifikat wakaf tunai, suatu produk baru baru dalam sejarah perbankan. Di Bangladesh SIBL membuka peluang kepada masyarakat untuk membuka rekening deposito wakaf tunai dengan tujuan mencapai yaitu: menjadikan perbankan fasilitator untuk menciptakan wakaf tunai dan membantu dalam pengelolahan wakaf, membantu memobilisasi tabungan masyarakat, meningkatkan investasi sosial dan mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi modal, memberikan manfaat kepada masyarakat luas terutama golongan miskin, dengan menggunakan sumber sumber yang di ambilnya dari golongan orang kaya, meniptakan kesadaran diantara orang kaya tentang tanggung jawab social mereka terhadap masyarakat, membantu pengembangan Social Capital Market, membantu usaha-usaha pembangunan bangsa secara umum dan membuat hubungan yang unik antara jaminan social dan kesejahteraan masyarakat.
Di Kuwait wakaf sudah setua eksistensi kebudayaan orang-orang Kuwait. Pada awalnya asset wakaf di Kuwait hanya meliputi mesjid, rumah-rumah tua, dan uang yang terbatas. Namun setelah ditemukan sumber minyak, nilai wakaf yang berbentuk property berkembang pesat. Banyak wakaf property di jadikan kompleks komersial, bangunan permukiman, pertokoan dan pusat rekreasi. Pada tahun 1921 pemerintah Kuwait membentuk Departemen Wakaf, pada tahun 1948 departemen ini memberi tugas untuk mengelolah tempat tempat ibadah dan merawat orang orang yang lemah.
Wakaf tidak dapat dilepaskan dari perkembangan Islam dan Dakwah Islam di Indonesia. Banyak organisasi keagamaan, masjid, pondok pesantren, dan lembaga pendidikan yang berdiri di atas tanah wakaf.
Sejak tahun 2000, wakaf mulai banyak mendapat perhatian di Indonesia, baik dari praktisi, akademis maupum pemerintah. Kondisi ini di tengarai dengan adanya berbagai tulisan di media masa, baik cetak maupun elektronik[5]. Wakaf uang penting sekali untuk di kembangkan di Indonesia saat ini kondisi perekonomian kian memburuk. pendapatan yang di peroleh dari pengelolahan wakaf tersebut dapatdi belanjakanuntuk berbagai tujuan yang berbeda-beda, seperti keperluan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, untuk pemeliharaan harta-harta wakaf, dan lain-lain. Jika ada lembaga wakaf yang mampu mengelolah wakaf uang secara professional, maka lembaga ini merupakan saran baru bagi umat islam untuk beramal.
Indonesia sudah memiliki regulasi yang memadai sebagai dasar pengelolaan wakaf yang sejalan dengan ketentuan syariat Islam, antara lain UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan PP Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Nomor 41 Tahun 2004.
Setelah diundangkannya UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf , ada beberapa hal yang dipandang sebagai terobosan penting dalam perkembangan wakaf di Indonesia, yaitu: Pertama, diakuinya Wakaf Benda Bergerak, termasuk wakaf tunai (cash waqf) berupa uang yang diharapkan menjadi sumber harta wakaf  potensial yang dapat disinergikan dengan harta Wakaf Benda Tidak Bergerak. Kedua, dibentuknya BADAN WAKAF INDONESIA (BWI) sebagai lembaga independen yang bertugas memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional. [6]
Menurut data Kementerian Agama RI Tahun 2010, Jumlah lokasi tanah wakaf di Indonesia sebanyak 414.848 lokasi dengan luas tanah 2.171.041.349,74 M2. Hampir 95 % asset wakaf belum dimanfaatkan secara optimal sehingga peran sosial-ekonomi wakaf belum maksimal.
Data Kanwil Kementerian Agama Jawa Barat, pada tahun 2011, dari 74.156 lokasi tanah wakaf di Jawa Barat, 22.587 lokasi (30,54 %) belum bersertifikat, bahkan 5.981 diantaranya belum memiliki dokumen Akta Ikrar Wakaf (AIW). Kondisi tersebut antara lain yang menyebabkan sering terjadinya konflik tanah wakaf, terutama antara Ahli Waris Wakif dengan Nazhir, atau konflik pengelolaan wakaf antara Nazhir dengan masyarakat.
Dengan melihat data diatas, maka seharusnya asset wakaf yang belum maksimal bisa dikelola lebih maksimal agar peran sosial ekonomi bisa lebih maksimal dan perlu diadakan sosialisasi tentang wakaf tanah maupun uang karena banyak sekali tanah wakaf yang belum bersertifikat dan belum memiliki dokumen Akta Ikrar Wakaf (AIW) yang memicu terjadinya konflik tanah wakaf, terutama antara Ahli Waris Wakif dengan Nazhir, atau konflik pengelolaan wakaf antara Nazhir dengan masyarakat.

E.  KESIMPULAN
            Wakaf sebagai perbuatan hukum sudah lama melembaga dan dipraktikkan di Indonesia. Diperkirakan lembaga wakaf ini sudah ada sejak Islam masuk ke Nusantara kemudian berkembang seiring dan sejalan dengan perkembangan agama Islam di Indonesia.pengaturan tentang sumber hukum, tata cara, prosedur, dan praktik perwakafan dalam bentuk peraturan masih relatif baru, yakni sejak lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria.
            Kemudian pada tanggal 27 Oktober 2004 Presiden SBY mengesahkan UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam UU ini diatur tentang semua hal tentang wakaf, diantanya adalah pengertian wakaf, nadzir, PPAIW,dll.
            Perkembangan wakaf yang awalnya tradisional, diharapkan berkembang menjadi lebih produktif dan tidak hanya tanah saja yang menjadi harta benda wakaf tetapi juga benda bergerak seperti uang, logam mulia, kendaraan, dll. Sesuai dengan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang membolehkan wakaf uang (2003: 86) pada tanggal 11 Mei 2002.


 DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Kencana: Jakarta.
Adijani al-Alabij.1989. Perwakafan tanah di Indonesia. Rajawali Pers: Jakarta.
Ali, Mohammad Daud. 1995. Lembaga-lembaga Islam di Indonesia. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Lubis, Suhrawardi K.2010. Wakaf dan Pemberdayaan Umat. Sinar Grafika: Jakarta.





[1] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006. hlm. 251-252.
[2]Ibid. hlm. 253.
[3]Ibid. hlm. 256.
[4]Suhrawardi K. Lubis. Wakaf dan Pemberdayaan Umat, Sinar Grafika dengan UMSU publisher,2010. hlm. 22 – 23.
[5]Ibid. hlm. 34.
[6]Ibid. hlm. 41.

Makalah Tentang Pengertian Sabar

Pengertian Sabar | Sabar bukan hanya karena manusia itu gagal. Namun jikapun berhasil maka sabarlah yang akan menyelamatkan manusia agar te...