Jumat, 25 Januari 2013

Cara Penulisan Daftar Pustaka Baik dan Benar

Cara Penulisan Daftar Pustaka Baik dan Benar
Di Posting Oleh : Admin
Kategori : Artikel Ilmiah Blog Tutorial, Teknologi dan Kesehatan: Mangaip Blog | Berita Terkini dan Terbaru: Terbaru.co.id

Cara Penulisan Daftar Pustaka Baik dan Benar ~ Apakah sobat sudah menulis Daftar Pustaka dengan benar ? dalam menulis  daftar pustaka ada beberapa aspek yang di ambil, sebagi sumber – sumber pendukung dalam penyusunan makalah berasal dari berbagai macam sumber. Ada dari Internet, ada dari sebuah buku, ada dari sebuah jurnal  agar tidak menjadi sebagai plagiat.

Ada bagian penting yang harus diketahui yaitu cara menulis daftar pustaka dengan benar maka sebelum kesalahan berlanjut maka secepatnya untuk diperbaiki. Berikut Cara Penulisan Daftar Pustaka Yang Baik dan Benar samakan dengan apa yang tertulis dibawah ini :

1. Daftar Pustaka dari Buku :
Format Penulisan : Nama Penulis (ditulis terbalik), Tahun Terbit Buku,  Judul Buku (ditulis miring), Kota, Nama Penerbit.

Contoh : Widjanarka, Bambang, 1970,  Sewindu Dekat Bung Karno, Jakarta, Penerbit Gramedia.

Catatan :
Dalam penulisan daftar pustaka berbeda-beda, ada yang dengan koma, titik dll. Namun semua itu yang terpenting memiliki format yang lengkap seperti diatas dan Untuk buku, silakan cantumkan edisi, volume atau editor jika buku tersebut menyediakan hal seperti itu dengan meletakkannya pada posisi setelah penulisan judul buku.

2. Daftar Pusataka dari Internet :
Format Penulisan : Nama Penulis, Tahun. Judul sumber. (http:// link sumber, diakses Tanggal Bulan Tahun, Pukul xxxx WIB)
Contoh
: Zain Elhasany, 2012. Cara Penulisan Daftar Pustaka Yang Baik dan Benar. (http:www. sylvia.web.id, diakses 7 Agustus 2012 pukul 05.20 WIB)

3. Daftar Pustaka dari Jurnal :

Format Penulisan : Nama Penulis atau Penyusun Jurnal, Tahun, Judul Tulisan, Nama Jurnal (dimiringkan), Volume Jurnal, Halaman Tulisan di Dalam Jurnal.
   
Contoh : Jamet, R., Guillet, B., Robert, M., Ranger, J., Veneau, G., 1996. Study of current dynamics of soils from a podzol–oxisol sequence in Tahiti (French polynesia) using the testmineral technique. Geoderma 73, 107–124.

4. Daftar pustaka yang bersumber dari Skripsi, Tesis, Disertasi atau Laporan Tugas Akhir.

Format Penulisan: Nama Penulis/Penyusun, Tahun, Judul Tulisan, Jenis Tulisan, Instansi yang mengeluarkan tulisan tersebut

Contoh : Elhasany, dkk., 2004. Metodelogi Pembelajaran Al-quran dengan Cepat. Laporan Tugas Akhir. Jurusan Dakwah Bandung.

Catatan :
Diatas adalah Penulis yang lebih dari 3 orang, sebaiknya digunakan (dkk-Indonesia atau et.al-Inggris) dengan mengutamakan ketua sekaligus penggagas ide dari penulisan tersebut. Akan tetapi jika 1 penulis bisa seperti dalam penulisan Daftar Pustaka buku seperti no. 1.


Sekian Cara Penulisan Daftar Pustaka Yang Baik dan Benar, yang telah saya lakukan selama ini dari berbagai sumber dan bimbingan dari orang-orang yang berkompeten mengenai daftar pustaka ini. sobat bisa mulai penulisan daftar pustaka dengan baik dan benar. Good luck semoga bermanfaat

Kamis, 10 Januari 2013

Makalah Ikhbat

Makalah Ikhbat
Di Posting Oleh : Admin
Kategori : Makalah Tasawuf Blog Tutorial, Teknologi dan Kesehatan: Mangaip Blog | Berita Terkini dan Terbaru: Terbaru.co.id

Makalah Ikhbat


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Dalam ilmu tasawuf ada banyak cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Salah satunya Ikhbat merupakan pendakian pertama (permulaan posisi atau maqom) bagi orang-orang yang mendekatkan diri terhadap Allah. 

Pada makalah ini akan mengupas tentang ikhbat agar dalam mempelajari ilmu tasawuf tidak bingung dan terarah. Banyak maqom dalam ilmu tasawuf tapi kita belajar terlebih dahulu maqom yang paling rendah atau permulaan pada tasawuf yaitu ikhbat. Orang yang berada dipersinggahan ikhbat maka orang tersebut tidak lagi terpengaruh oleh pujian dan celaan.

B.    Rumusan Masalah

1.    Apa yang dimaksud Ikhbat ?
2.    Bagaimana Pendapat tentang lafazh mukhbitin?
3.    Apa saja tingkatan ikhbat ?

C.    Tujuan

1.    Agar mengetahui tentangpengertian ikhbat
2.    Agar memahami ikhbat sampai pada tingkatan-tingkatannya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ikhbat

Ikhbat menurut pengertian bahasa artinya permukaan tanah yang rendah. Atas dasar pengertian bahasa ini pula Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu dan Qatadah mengartikan lafazh mukhbitin di dalam ayat Al-Qur'an sebagai orang-orang yang merendahkan diri. Sedangkan menurut Mujahid, mukhbit artinya orang yang hatinya merasa tenang bersama Allah, karena menurut pendapatnya, khabtu artinya tanah yang stabil. Menurut Al-Akhfasy, mukhbitin artinya orang-orang yang khusyu'. Menurut Ibrahim An-Nakha'y, artinya orang-orang yang shalat dan ikhlas. Menurut Al-Kalby, artinya orang-orang yang hatinya lembut. Menurut Amr bin Aus, artinya orang-orang yang tidak berbuat zhalim, dan jika dizhalimi tidak membalas. Allah befirman,

وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ
"Dan, berilah kabar gembira kepada orang-orang yang merendahkan diri (kepada Allah)." (QS. Al-Hajj : 34)

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَخْبَتُوا إِلَىٰ رَبِّهِمْ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih dan merendahkan diri kepada Rabb mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya." (QS. Hud : 23).

B.    Pendapat tentang lafazh mukhbitin

Pendapat-pendapat tentang lafazh mukhbitin ini berkisar pada 2 (dua) makna: Merendahkan diri, dan merasa tenang terhadap Allah.
Karena itu lafazh ini disertai dengan kata ila (kepada), sebagai jaminan terhadap pengertian ketenangan dan ketundukan kepada Allah.

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Ikhbat ini merupakan permulaan dari ketentraman", seperti ketenangan, keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, atau juga merupakan rasa percaya diri bagi musafir untuk tidak surut ke belakang atau ragu-ragu. Karena ikhbat merupakan permulaan posisi bagi orang yang sedang mengadakan perjalanan kepada Allah, yang tidak akan menghentikan perjalanannya selagi dia masih bemapas, maka ikhbat ini bisa diumpamakan air segar yang dilihat musafir saat kehausan di awal tahapan perjalanannya, sehingga air yang diharapkannya menghilangkan keragu-raguannya untuk membatalkan perjalanan, meskipun perjalanannya sulit dan berat.

Apabila ia mendapatkan air, maka keragu-raguan atau lintasan pikiran untuk membatalkan perjalanan menjadi sirna. Begitu pula seorang perantau apabila dia sampai ke tempat persinggahan yang pertama, yaitu thuma'ninah maka hilanglah keragu-raguan darinya.

C.    Tingkatan Ikhbat

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, ikhbat ini didasarkan kepada 3 (tiga) Tingkatan :

1.    Memperkuat penjagaan dalam menghadapi syahwat, menjaga hasrat agar tidak lalai dan kecintaan yang dapat mengalahkan kesenangan. Alhasil, perlindungan dan penjagaannya dapat mengalahkan syahwat, hasratnya dapat mengalahkan kelalaian, dan kecintaannya dapat mengalahkan kesenangan.

2.    Hasratnya tidak digugurkan satu sebab pun, hatinya tidak diusik satu penghambat pun, dan jalannya tidak dipotong satu rintangan pun. Ini tiga masalah lain yang dihadapi orang yang sedang berjalan kepada Allah dan yang berada di tempat persinggahan ikhbat. Tapi selagi hasratnya sudah bulat dan perjalanannya dilakukan secara sungguh-sungguh, tentu tidak ada satu sebab pun yang bisa menghambat perjalanannya. Penghambat yang paling berat ialah kesepian saat berjalansendirian. Maka hal ini janganlah dianggap sebagai penghambat, sebagaimana yang dikatakan seseorang yang lurus, "Kesendirianmu dalam mencari sesuatu merupakan bukti benarnya apa yang kamu cari." Yang lain berkata, "Janganlah engkau merasa kesepian karena sedikitnya orang yang berjalan bersamamu dan janganlah terkecoh karena banyaknya orang yang binasa."

                Sedangkan rintangan yang bisa memotong perjalanan ialah hal-hal yang masuk kedalam hati seseorang sehingga dapat menghambatnya untuk mencari dan mengikuti kebenaran. Bila seorang hamba sudah mantap berada di tempat persinggahan ikhbat, hasrat dan pencariannya sudah kuat, maka tidak ada rintangan yang bisa menghambatnya.

3.    Sama bagi dia saat mendapat pujian ataupun celaan, senantiasa mencela diri sendiri, dan tidak melihat kekurangan orang lain yang di bawah dia derajatnya.

Hamba yang sudah mantap berada di tempat persinggahan ikhbat, tidak lagi terpengaruh oleh pujian dan celaan. Dia tidak menjadi gembira karena pujian manusia dan juga tidak sedih karena celaan mereka. Inilah sifat orang yang bisa melepaskan diri dari bagian yang seharusnya diterimanya. Jika seseorang terpedaya oleh pujian dan celaan manusia, maka itu merupakan pertanda bagi hatinya yang terputus, tidak memiliki ruh cinta kepada Allah dan belum merasakan manisnya kebergantungan kepada-Nya.

Senantiasa mencela nafsu diri sendiri, entah yang berkaitan dengan sifat, akhlak atau perbuatannya yang tercela. Nafsu adalah gunung yang sulit dilewati dalam perjalanan kepada Allah. Ini merupakan satu-satunya jalan kepada Allah bagi setiap orang, dan setiap orang juga harus sampai kepada-Nya. Di antara mereka ada yang kesulitan melewatinya dan sebagian yang lain ada yang mudah melewatinya berkat pertolongan Allah. Di atas gunung ini ada lembah, perkampungan, jurang, duri, tebing yang terjal, ada perampok yang akan menghambat siapa pun yang lewat di sana, terlebih lagi orang yang mengadakan perjalanan pada malam yang gelap gulita.

Jika dia tidak mempunyai persiapan iman, pelita keyakinan yang dinyalakan dengan minyak ikhbat, maka ia akan menyerah kepada penghalang dan perintang yang ada, dan perjalanannya akan terhenti. Sementara syetan juga ada di puncak gunung itu, menakut-nakuti manusia yang ingin mendaki dan mencapai puncaknya. Di samping perjalanan melewati gunung itu sendiri sudan sulit, ditambah lagi dengan ketakutan yang dihembuskan syetan, dan lemahnya hasrat dan niat orang yang hendak melewatinya, ini semua membuat orang memutuskan perjalanan dan kembali pulang. Sesungguhnya orang yang terjaga dari godaan ini hanyalah orang yang dijaga Allah.

Setiap kali perjalanan mendaki gunung ini bertambah ke depan, semakin jelas terdengar teriakan syetan yang menakut-nakuti dan meraperingatkannya. Jika sudah sampai ke puncaknya, maka semua ketakutan itu berubah menjadi rasa aman. Pada saat itu perjalanan lebih ringan, rambu-rambu jalan sudah ada, jalannya lapang dan aman, tinggal turun ke lerengnya.

"Tidak melihat kekurangan orang lain karena derajat yang didapatkannya", artinya tidak memperhatikan keadaan orang lain, karena dia disibukkan oleh urusannya sendiri dengan Allah, dan hatinya yang dipenuhi kecintaan kepada-Nya, sekalipun derajatnya lebih tinggi dari orang-orang lain. Andaikan dia sibuk memperhatikan keadaan orang lain, maka hal ini justru akan menurunkan derajatnya dan membuatnya mundur ke belakang.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ikhbat bahasa artinya permukaan tanah yang rendah. Ada beberapa pendapat mengenai devinisi ikhbat diantaranya : Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu dan Qatadah mengartikan lafazh mukhbitin di dalam ayat Al-Qur'an sebagai orang-orang yang merendahkan diri. Sedangkan menurut Mujahid, mukhbit artinya orang yang hatinya merasa tenang bersama Allah, karena menurut pendapatnya, khabtu artinya tanah yang stabil.

Hamba yang sudah mantap berada di tempat persinggahan ikhbat, tidak lagi terpengaruh oleh pujian dan celaan. Dia tidak menjadi gembira karena pujian manusia dan juga tidak sedih karena celaan mereka. Inilah sifat orang yang bisa melepaskan diri dari bagian yang seharusnya diterimanya. Jika seseorang terpedaya oleh pujian dan celaan manusia, maka itu merupakan pertanda bagi hatinya yang terputus, tidak memiliki ruh cinta kepada Allah dan belum merasakan manisnya kebergantungan kepada-Nya.

B.    Saran dan Penutup

Sangatlah baik jika setelah kita mengetahui tentang ikhbat lalu mengamalkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Menjadi orang yang bersih dari kehidupan dunia dan merasa rendah dihadapan Allah senantiasa memperkuat menjaga syahwat agar tidak terpengaruh dari godaan setan.

Dalam penyusunan makalah ini tentunya banyak kekurangan dan kesalahan, penulis mengharap krtik dan saran yang mendukung demi terwujudnya makalah yang baik.

Meskipun jauh dari kesempurnaan, penulis berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan penulis khususnya.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. 1998. Madarijus-Salikin (Pendakian Menuju Allah), Jakarta; Pustaka Al-Kautsar.
http://umustlucky.blogspot.com/2010/09/buku-kedua-tempat-tempat-persinggahan.html


Makalah Sifat Malu atau Rasa Malu

Makalah Sifat Malu atau Rasa Malu
Di Posting Oleh : Admin
Kategori : Makalah Tasawuf Blog Tutorial, Teknologi dan Kesehatan: Mangaip Blog | Berita Terkini dan Terbaru: Terbaru.co.id

BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Manusia sekarang sudah jarang yang memiliki rasa malu contohnya dalam kehidupan sehari- hari kita kita sering menyaksikan manusia yang sudah tidak lagi memiliki rasa malu bila melanggar hati nurani dan aturan hidup. Cobalah anda lihat dan baca melalui media masa. Tidak sedikit manusia yang dengan bebasnya melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hati nurani dan norma masyarakat yang berlaku. Dari mulai  mereka berpakaian, bersikap dan bertingkah laku.

Jadi sebagai Orang tua dan para pendidik juga ikut berkewajiban untuk menanamkan rasa malu secara sungguh-sungguh. Untuk itu, hendaknya mereka menggunakan berbagai metode pendidikan yang baik, seperti mengawasi perilaku anak-anak dan segera meluruskan jika melihat perbuatan yang bertentangan dengan rasa malu, memilihkan teman bermain yang baik, memilihkan buku-buku yang bermanfaat, menjauhkan dari berbagai tontonan yang merusak, dan menjauhkan dari omongan yang tidak baik.

B.    Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian malu?
2.    Apa macam-macam malu?
3.    Bagaimana menumbuhkan rasa malu?
4.    Apa keutamaan dari sifat malu?

C.    Tujuan
1.    Agar kita bias mengetahui pertain malu
2.    Agar kita bisa mengetahui macam-macam malu
3.    Agar kita bisa mengetahui cara untuk menumbuhkan rasa malu
4.    Agar kita bisa mengetahui keutamaan dari sifat malu.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Malu

Kata malu  ﺤﻴﺎﺀ (malu) adalah leburan dari kataﺤﻴﺎۃ  ( hidup).  Malu dibangun diatas dasar hidupnya hati, hati semakin hidup maka rasa malu akan semakin bertambah, bila keimanan mati di dalam hati maka rasa malu akan hilang, barang siapa yang telah hilang rasa malunya maka dia adalah orang mati di dunia dan kecelaka  di akhirat.

Menurut Ibnu Hajar di dalam kitab fathul bari berkata : berkata Ar Raghib : malu adalah menahan jiwa dari segala keburukan, ia adalah kekhususan manusia untuk  menahan dari segala bentuk keinginan agar  tidak seperti binatang.

Malu menurut para ulama’ adalah selalu berontak kepada sifat-sifat tercela, pantang menolak kebenaran. Ia selalu cenderung mengikuti seruan petunjuk nabi yang dipahami dari hadist-hadistnya, selalu melakukan kebaikan dan menghargai pelaku kebaikan. Ia menuntun kepada sikap dan tindakan yang berguna di dalam masyarakatnya.

B.    Macam-macam Malu

Dalam ajaran agama disebutkan “malu adalah sebagian dari iman“.  ini berarti bahwa malu merupakan salah satu nilai budi pekerti yang harus di miliki oleh manusia. Dan juga Rasulullah SAW bersabda, “Memiliki rasa malu itu merupakan manifistasi dari iman” (HR. Bukhari).

Pada hakikatnya rasa malu adalah suatu akhlak yang mendorong untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan kurang memperhatikan haknya orang yang memiliki hak. Dalam kajian aqidah akhlaq sifat malu terbagi menjadi tiga:

1.    Malu Terhadap Diri Sendiri

Orang yang mempunyai malu terhadap dirinya sendiri, saat melihat dirinya sangat sedikit sekali amal ibadah dan ketaatannya kepada Allah SWT serta kebaikannya kepada masyarakat di lingkungannya, maka rasa malunya akan mendorongnya untuk meningkatkan amal ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT. Orang yang mempunyai rasa malu terhadap dirinya sendiri, saat melihat orang lain lebih berprestasi darinya, dia akan malu, dan dia akan mendorong dirinya untuk menjadi orang yang berpresetasi.

2.    Malu Terhadap Sesama  Manusia

Orang yang merasa malu terhadap manusia akan malu berbuat kejahatan dan maksiat. Dia tidak akan menganiaya dan mengambil hak orang lain. Walaupun malu yang seperti ini bukan didasari karena Allah SWT melainkan karena dorongan rasa malu terhadap orang lain, tapi insya Allah orang tersebut mendapat ganjaran dari Allah SWT dari sisi yang lain. Tapi perlu dicatat, orang yang merasa malu karena dorongan adanya orang lain yang memperhatikan, sementara ketika sendiri dia tidak malu, maka sama artinya orang itu merendahkan dan tidak menghargai dirinya.

Rasa malu dengan sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina.  Orang yang memiliki rasa malu dengan sesama tentu akan menjauhi segala sifat yang tercela dan berbagai tindak tanduk yang buruk. Karenanya orang tersebut tidak akan suka mencela, mengadu domba, menggunjing, berkata-kata jorok dan tidak akan terang-terangan melakukan tindakan maksiat dan keburukan.

3.    Malu kepada Allah

Rasa malu kepada Allah adalah termasuk tanda iman yang tertinggi bahkan merupakan derajat ihsan yang paling puncak. Nabi bersabda, “Ihsan adalah beribadah kepada Allah seakan-akan memandang Allah. Jika tidak bisa seakan memandang-Nya maka dengan meyakini bahwa Allah melihatnya.”(HR Bukhari).

Malu seperti ini akan menimbulkan kesan yang baik. Orang yang memiliki rasa malu terhadap Allah SWT akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya, karena ia yakin bahwa Allah SWT senantiasa melihatnya.

Bila kita kembali kepada hadits Rasulullah di atas yang mengatakan rasa malu adalah manifestasi dari iman, maka hanya orang-orang yang imannya menancap kuat dan tumbuh yang memiliki tingkat sensitivitas rasa malu yang sangat tinggi.

Rasa malu kepada Allah adalah di antara bentuk penghambaan dan rasa takut kepada Allah. Rasa malu ini merupakan buah dari mengenal betul Allah, keagungan Allah. Serta menyadari bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hambaNya, mengawasi perilaku mereka dan sangat paham dengan adanya mata-mata yang khianat serta isi hati nurani.
   
C.    Menumbuhkan Rasa Malu

Menumbuhkan rasa malu dalam kehidupan itu ada banyak cara diantaranya yaitu dengan mulai dari yang kecil dari diri kita sendiri yaitu dengan membiasakan berkata jujur dan berperilaku yang benar, pada saat kita bertingkah laku sesuai dengan kebiasaan yang dilakukan maka jika kita memang dari awalnya sudah biasa melakukan kebaikan maka sikap dan perilaku kita akan baik tetapi jika  kita terbiasa berbuat salah maka perilaku kita juga akan selalu salah.

Karena dalam kehidupan manusia yang selalu berbuat salah jika mereka berbuat benar malah mereka merasa malu karena mereka sudah terbiasa berbuat salah dan jika manusia itu terbiasa berbuat benar maka jika mereka salah mereka juga akan malu berbuat salah karena mereka terbiasa berbuat benar maka dari itu mulai dari sekarang kita harus membiasakan berkata dan berperilaku yang benar karena itu adalah awal supaya kita sebagai mahkluk yang berbudaya dapat menumbuhkan lagi rasa malu dalam diri kita.

Dan cara lainnya menumbuhkan rasa malu yaitu dengan mempertegas hukuman bagi pelanggar kejahatan karena tanpa adanya tindakan yang tegas bagi mereka yang melanggar maka rasa malu pada masyarakat akan semakin kecil bahkan semakin tidak ada,sebaliknya jika hukuman bagi palanggar hokum di pertegas maka maka rasa malupun akan tumbuh.dan cara lainnya yaitu dengan mempertebal penanaman moralitas agama karena moralitas agama adalah jalur cukup kuat dalam menanamkan rasa malu seseorang.

D.    Keutamaan Malu

1.    Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

بِخَيْـرٍ. إِلاَّ يَأْتِيْ لاَ اَلْـحَيَاءُ
“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” (Muttafaq ‘alaihi)
2.    Malu adalah cabang keimanan.
3.    Allah Azza wa Jalla cinta kepada orang-orang yang malu.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

ﺍﻦ ﺍﻟﻟﻪ ﻋﺯ ﻮﺠﻞ ﺤﻲ ﺴﺘﯦ ﺮﯦﺤﺐ ﺍﻟﺤﯦﺍﺀ ﻮﺍﻟﺴﺘﺮ, ﻔﺈﺬ اغتسل احدكم فليستتر
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi, maka hendaklah dia menutup diri.” (HR.Abû Dawud)
4.    Malu adalah akhlak para Malaikat
5.    Malu adalah akhlak Islam.
6.    Malu sebagai pencegah pemiliknya dari melakukan maksiat.
7.    Malu senantiasa seiring dengan iman, bila salah satunya tercabut hilanglah yang lainnya.
8.    Malu akan mengantarkan seseorang ke Surga.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
  1. Kata malu  ﺤﻴﺎﺀ (malu) adalah leburan dari kataﺤﻴﺎۃ  ( hidup).  Malu dibangun diatas dasar hidupnya hati, hati semakin hidup maka rasa malu akan semakin bertambah, bila keimanan mati di dalam hati maka rasa malu akan hilang, barang siapa yang telah hilang rasa malunya maka dia adalah orang mati di dunia dan kecelaka  di akhirat.
  2. Pada hakikatnya rasa malu adalah suatu akhlak yang mendorong untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan kurang memperhatikan haknya orang yang memiliki hak. Dalam kajian aqidah akhlaq sifat malu terbagi menjadi tiga : Malu kepada diri sendiri, malu kepada sesama manusia, malu kepada allah.
  3. Menumbuhkan rasa malu dalam kehidupan itu ada banyak cara diantaranya yaitu dengan mulai dari yang kecil dari diri kita sendiri yaitu dengan membiasakan berkata jujur dan berperilaku yang benar.
  4. Sifat malu mempunyai beberapa keutamaan, di antaranya : malu dapat mengantarkan seseorang masuk surga, mencegah seseorang berbuat maksiat, malu adalah akhlak malaikat dan malu adalah cabang dari iman.

B.    Saran dan Penutup

Kita sebagai umat islam haruslah mempunyai rasa malu karena seseorang apabila bertambah kuat rasa malunya maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya.

Demikian makalah yang kami buat tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan, penulis mengharap krtik dan saran yang mendukung demi terwujudnya makalh yang baik.
Meskipun jauh dari kesempurnaan, penulis berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan penulis khususnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Hasyim, Muhammad. 1988. Apakah anda Berkepribadian Muslim?. Jakarta: Gema Insani
Mahalli, Ibnu. 2001. Perjalanan Rohani Kaum Sufi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
http://pustakaimamsyafii.com/malu-akhlak-islam.html
http://tafakursyukur.blogspot.com/2011/02/malu-kepada-allah.html
http://idya-idya.blogspot.com/2011/03/pengertian-malu.html
http://djawa89.blogspot.com/2011/04/makalah-kuliah.html



Selasa, 08 Januari 2013

Pemimpin yang Adil Menurut Islam

Pemimpin yang Adil Menurut Islam
Di Posting Oleh : Admin
Kategori : Artikel Blog Tutorial, Teknologi dan Kesehatan: Mangaip Blog | Berita Terkini dan Terbaru: Terbaru.co.id

Pemimpin yang Adil Menurut Islam | Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menjelaskan bahwa seorang pemimpin yang adil adalah seorang yang mengikuti perintah Allah dengan meletakkan sesuatu pada tempatnya tanpa berlebihan dan tidak pula meremehkan, maka dialah yang termasuk di antara yang mendapatkan perlindungan Allah pada hari kiamat pada hari yang tiada naungan kecuali naungannya, dan bahwa dia termasuk diantara ahli surga, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ فِي خَلَاءٍ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسْجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا قَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ يَمِينُهُ “.

”Ada tujuh golongan yang Allah beri naungan pada hari kiamat di bawah naungan-Nya dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: seorang pemimpin yang adil, seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah, seorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sendiri lalu berlinang air matanya, seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, seorang lelaki yang dirayu oleh seorang wanita berkedudukan dan berparas cantik lalu ia berkata: sesungguhnya aku takut kepada Allah, seorang yang bersedekah lalu dia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dikerjakan oleh tangan kanannya.”

Dan dikeluarkan pula oleh Imam Muslim dalam shahihnya dari ‘Iyyadh bin Himar al- mujasyi’i bahwa Rasululullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

:” أَهْلُ الْجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ مُتَصَدِّقٌ مُوَفَّقٌ وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ لِكُلِّ ذِي قُرْبَى وَمُسْلِمٍ وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيَالٍ “

“Penduduk suurga ada tiga golongan: penguasa yang adil, bersedekah dan mendapat taufik, dan seorang yang pengasih, berhati lembut kepada setiap kerabat dan setiap muslim, seorang yang miskin dan memelihara kehormatannya (merasa cukup dengan apa yang ada), dan memiliki tanggungan keluarga.”

Pemimpin yang adil adalah yang bijaksana dalam kepemimpinannya, dan seorang penguasa yang adil tidak tertolak do’anya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam sunan-nya dari hadits Abu Hurairah berkata: bersabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam:

:” ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا اللَّهُ فَوْقَ الْغَمَامِ وَيَفْتَحُ لَهَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ وَيَقُولُ الرَّبُّ وَعِزَّتِي لَأَنْصُرَنَّكِ وَلَوْ بَعْدَ حِينٍ “

“Tiga golongan yang tidak ditolak do’anya: orang yang berpuasa hingga dia berbuka, seorang pemimpin yang adil, dan do’anya orang yang terdzalimi, Allah mengangkatnya di atas awan dan membukakan baginya pintu-pintu langit, dan Allah berfirman: “Demi kemuliaan-Ku, aku pasti akan menolongmu kapan saja.” (Riwayat ini dilemahkan Al- Allamah Al-Albani dalam silsilah al-ahadits adh-dho’ifah:jil:3, no: 1358. -Pent.)


Ditulis oleh: Abu Umar Ahmad bin Umar Bazemul
Pengajar di Ma’had Harom, Makkah Syarifah.
Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/

Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Di Posting Oleh : Admin
Kategori : Artikel Blog Tutorial, Teknologi dan Kesehatan: Mangaip Blog | Berita Terkini dan Terbaru: Terbaru.co.id

Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah Syeikh al-Islam al-Imam Muhammad bin `Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.

Tempat dan Tarikh Lahirnya

Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung `Uyainah (
Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut
kota
Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang.

Beliau meninggal dunia pada 29 Syawal 1206 H (1793 M) dalam usia 92 tahun, setelah mengabdikan diri selama lebih 46 tahun dalam memangku jawatan sebagai menteri penerangan Kerajaan Arab Saudi .

Berikut ini akan kami bawakan risalah yang berisi tanya-jawab dalam hal aqidah Islam yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.

Dengan mencermati karya beliau ini akan tampaklah bagi kita sebenarnya bagaimana aqidah [keyakinan] beliau yang mungkin bagi sebagian kalangan telah mendapatkan kesan negatif mengenai beliau. Silakan anda telaah dengan pikiran yang jernih dan hati yang tenang. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada kita.

Tanya : Siapakah Rabbmu?
Jawab : Rabbku adalah Allah yang telah memeliharaku dan memelihara seluruh alam dengan segala nikmat-Nya. Dia lah sesembahanku, tidak ada bagiku sesembahan selain-Nya. Sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala dalam surat al-Fatihah (yang artinya), “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”

Tanya : Apakah makna kata Rabb?
Jawab : Yang menguasai dan yang mengatur, dan hanya Dia (Allah) yang berhak untuk diibadahi

Tanya : Apa makna kata Allah?
Jawab : Yaitu yang memiliki sifat ketuhanan dan berhak diibadahi oleh seluruh makhluk-Nya

Tanya : Dengan apa kamu mengenal Rabbmu?
Jawab : Dengan memperhatikan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk ciptaan-Nya

Tanya : Makhluk apakah yang terbesar yang bisa kamu lihat di antara makhluk ciptaan-Nya?
Jawab : Langit dan bumi

Tanya : Apakah ayat (tanda kekuasaan)-Nya yang paling besar?
Jawab : Malam dan siang, matahari dan bulan

Tanya : Apakah dalil atas hal itu?
Jawab : Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Rabb kalian adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy. Allah menutupkan malam kepada siang dan mengikutinya dengan cepat, matahari dan bulan serta bintang-bintang semuanya ditundukkan dengan perintah-Nya. Ingatlah, sesungguhnya penciptaan dan pemberian perintah adalah hak-Nya, Maha berkah Allah Rabb seluruh alam.” (QS. al-A’raf : 54).

Tanya : Untuk apakah Allah menciptakan kita?
Jawab : Untuk beribadah kepada-Nya

Tanya : Apa yang dimaksud beribadah kepada-Nya?
Jawab : Mentauhidkan Allah dan menaati-Nya

Tanya : Dalam hal apa kita menaati-Nya?
Jawab : Kita taati perintah-Nya dan kita jauhi segala yang dilarang-Nya kepada kita

Tanya : Apa dalil untuk hal itu?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat : 56).

Tanya : Apa makna ’supaya mereka beribadah kepada-Ku’?
Jawab : Maknanya adalah agar mereka mentauhidkan Allah

Tanya : Apa yang dimaksud dengan tauhid?
Jawab : Tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah

Tanya : Apakah perkara terbesar yang dilarang Allah untuk kita?
Jawab : Perkara terbesar yang dilarang Allah adalah syirik yaitu berdoa kepada selain Allah [saja] atau berdoa kepada selain-Nya di samping berdoa kepada-Nya.

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya (dalam beribadah) dengan sesuatu apapun.” (QS. an-Nisaa’ : 36).

Tanya : Apa yang dimaksud dengan ibadah?
Jawab : Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi

Tanya : Apa sajakah yang termasuk macam-macam ibadah?
Jawab : Ibadah itu banyak jenisnya, di antaranya adalah : doa, takut, harap, tawakal, roghbah (keinginan), rohbah (kekhawatiran), khusyu’, khas-yah (takut yang dilandasi ilmu), inabah (taubat), isti’anah (meminta pertolongan), isti’adzah (meminta perlindungan), istighotsah (meminta keselamatan dari bahaya), menyembelih, nadzar, dan jenis-jenis ibadah yang lainnya.

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Seluruh masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kamu menyeru bersama-Nya sesuatu pun.” (QS. al-Jin : 18).

Tanya : Apa hukum bagi orang yang mengalihkan ibadah kepada selain Allah?
Jawab : Orang yang melakukannya dihukumi musyrik dan kafir

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang menyeru bersama Allah sesembahan yang lain padahal tidak ada bukti baginya, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada akan beruntung.” (QS. al-Mukminun : 117).

Tanya : Perkara apakah yang diwajibkan pertama kali oleh Allah kepada kita?
Jawab : Yaitu mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah

Tanya : Apa yang dimaksud dengan thaghut?
Jawab : Segala sesuatu yang menyebabkan hamba melampaui batas, yang berupa sesembahan, orang yang diikuti atau sosok yang ditaati, maka dia adalah thaghut

Tanya : Ada berapakah thaghut itu?
Jawab : Jumlah mereka banyak, namun pembesarnya ada lima : Iblis -semoga Allah melaknatnya-, orang yang diibadahi dan ridha dengan hal itu, orang yang menyeru orang lain untuk beribadah kepada dirinya, orang yang mengaku mengetahui ilmu gaib, dan orang yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidak ada paksaan dalam agama, sungguh telah jelas antara petunjuk dengan kesesatan. Barangsiapa yang mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya dia telah berpegang dengan buhul tali yang sangat kuat dan tidak akan putus, Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. al-Baqarah : 256).

Tanya : Apa yang dimaksud dengan Urwatul Wutsqa (buhul tali yang sangat kuat)?
Jawab : Maksudnya adalah laa ilaha illallah

Tanya : Apa makna laa ilaha illallah?
Jawab : Laa ilaha adalah penolakan, sedangkan illallah adalah penetapan

Tanya : Apa yang ditolak dan apa yang ditetapkan?
Jawab : Aku menolak segala sesembahan selain Allah dan aku tetapkan bahwa seluruh jenis ibadah harus ditujukan kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya; sesungguhnya aku berlepas diri dari semua sesembahan kalian kecuali dari Dzat yang telah menciptakanku, sesungguhnya Dia pasti menunjuki diriku. Dan Allah menjadikan kalimat itu tetap ada pada keturunannya (Ibrahim) semoga mereka mau kembali (kepada kebenaran).” (QS. az-Zukhruf : 26-28).

Tanya : Apakah agamamu?
Jawab : Agamaku Islam, yaitu menyerahkan diri kepada Allah dengan bertauhid, patuh kepada-Nya dengan melakukan ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Yaitu firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah hanya Islam.” (QS. Ali Imran : 19). Dan juga firman-Nya (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan pernah diterima darinya, dan di akhirat nanti dia pasti termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran : 85).

Tanya : Ada berapakah rukun Islam?
Jawab : Ada lima; syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke rumah Allah yang suci jika memiliki kemampuan.

Tanya : Apakah dalil syahadat laa ilaha illallah?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Allah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain-Nya, demikian pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu, dengan menegakkan keadilan. Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia, Yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. Ali Imran : 18).

Tanya : Apakah dalil syahadat anna Muhammadar rasulullah?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sekali-kali Muhammad itu bukanlah ayah salah seorang lelaki di antara kalian, namun dia adalah utusan Allah dan penutup nabi-nabi.” (QS. al-Ahzab : 40).

Tanya : Apa makna syahadat anna Muhammadar rasulullah?
Jawab : Maknanya adalah menaati perintahnya, membenarkan beritanya, menjauhi segala larangannya, dan beribadah kepada Allah hanya dengan syari’atnya

Tanya : Apakah dalil sholat, zakat serta tafsir dari tauhid?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah mereka disuruh melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan penuh ikhlas melakukan amal karena-Nya (tanpa disertai kesyirikan), mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah : 5)

Tanya : Apakah dalil puasa?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. al-Baqarah : 183).

Tanya : Apakah dalil haji?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Wajib bagi umat manusia untuk menunaikan ibadah haji ke baitullah karena Allah, yaitu bagi orang yang mampu melakukan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang kufur maka sesungguhnya Allah Maha kaya dan tidak membutuhkan seluruh alam.” (QS. Ali Imran : 97).

Tanya : Apakah pondasi ajaran dan kaidah dalam agama Islam?
Jawab : Ada dua perkara : [Pertama] adalah perintah untuk beribadah kepada Allah semata dan memotivasi manusia untuk melakukannya, membangun loyalitas di atasnya dan mengkafirkan orang yang meninggalkannya (tidak beribadah kepada Allah). [Perkara Kedua] adalah memperingatkan manusia dari kesyirikan dalam hal ibadah kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya, bersikap keras dalam hal itu (mengingkari syirik), membangun permusuhan di atasnya, dan mengakfirkan orang yang melakukannya (kemusyrikan).

Tanya : Ada berapakah rukun iman?
Jawab : Ada enam; yaitu iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada takdir baik dan yang buruk

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Bukanlah kebaikan itu kamu memalingkan wajahmu ke arah timur ataupun barat, akan tetapi yang disebut kebaikan adalah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab, dan para nabi.” (QS. al-Baqarah : 177).

Tanya : Apakah dalil iman kepada takdir?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan ukuran/takdir.” (QS. al-Qamar : 49).

Tanya : Apa yang dimaksud ihsan?
Jawab : Ihsan terdiri dari satu rukun yaitu; kamu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya dan jika kamu tidak bisa maka yakinlah bahwa Dia senantiasa melihatmu

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Allah akan bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. an-Nahl : 128).

Tanya : Siapakah Nabimu?
Jawab : Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib bin Hasyim, sedangkan Hasyim berasal dari keturunan Quraisy, Quraisy dari bangsa Arab, sedangkan Arab merupakan keturunan Nabi Ismail putra Ibrahim al-Khalil (kekasih Allah) semoga shalawat dan salam yang paling utama tercurah kepadanya dan kepada nabi kita.

Tanya : Berapakah umur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jawab : Enam puluh tiga tahun; empat puluh tahun sebelum diangkat menjadi nabi dan dua puluh tiga tahun sebagai nabi dan rasul

Tanya : Dengan apakah beliau diangkat menjadi Nabi? Dan dengan apa diangkat sebagai rasul?
Jawab : Beliau diangkat menjadi Nabi dengan turunnya Iqra’ dan diangkat sebagai rasul dengan turunnya al-Muddatstsir

Tanya : Di manakah negerinya?
Jawab : Beliau berasal dari Mekah lalu berhijrah ke Madinah, dan kemudian beliau wafat di sana -semoga shalawat dari Allah dan keselamatan senantiasa tercurah kepadanya- setelah Allah sempurnakan agama dengan mengutus beliau (beserta ajarannya).

Tanya : Apa yang dimaksud dengan hijrah?
Jawab : Berpindah dari negeri syirik menunju negeri Islam, sementara hijrah itu tetap berlaku hingga tegaknya hari kiamat

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat itu dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri. Maka malaikat bertanya kepadanya; Di manakah dulu kalian berada? Mereka menjawab; Kami dulu berada dalam keadaan tertindas dan lemah di muka bumi. Mereka berkata; bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian dapat berhijrah di atasnya? Mereka itulah orang-orang yang tempat kembalinya adalah neraka Jahannam dan sungguh neraka itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’ : 97).

Tanya : Apakah dalilnya dari Sunnah (Hadits)?
Jawab : Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah terputus hijrah sampai taubat terputus, dan tidak akan terputus [kesempatan] bertaubat hingga matahari terbit dari arah tenggelamnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan ad-Darimi).

Tanya : Apakah Rasul masih hidup atau sudah mati?
Jawab : Beliau telah meninggal sedangkan agamanya masih tetap ada hingga hari kiamat tiba

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya kamu pasti mati dan mereka pun akan mati, kemudian nanti pada hari kiamat di sisi Rabb kalian maka kalian pun akan saling bermusuhan.” (QS. az-Zumar : 31).

Tanya : Apakah setelah mati manusia akan dibangkitkan?
Jawab : Iya, benar

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dari tanah itulah Kami ciptakan kalian dan kepadanya kalian Kami kembalikan, dan dari dalamnya Kami akan mengeluarkan kalian untuk kedua kalinya.” (QS. Thaha : 55).

Tanya : Apakah hukum orang yang mendustakan hari kebangkitan?
Jawab : Orang yang melakukan hal itu adalah kafir

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Orang-orang kafir itu mengira bahwa mereka tidak akan dibangkitkan lagi, katakanlah; sekali-kali tidak, demi Rabbku, kalian benar-benar akan dibangkitkan kemudian akan dikabarkan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan [di dunia], dan hal itu bagi Allah sangatlah mudah.” (QS. at-Taghabun : 7).

Diterjemahkan dari :
Maa yajibu ‘alal muslim ma’rifatu wal ‘amalu bihi
Oleh Syaikhul Islam Muhammad bin Sulaiman at-Tamimi rahimahullah
Dengan pengantar Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Alu Jarullah

Sumber :
http://jendelaagama.blogspot.com/

Selasa, 01 Januari 2013

PENGERTIAN SIFAT MALU (AKHLAK ISLAM)

PENGERTIAN SIFAT MALU (AKHLAK ISLAM)
Di Posting Oleh : Admin
Kategori : Artikel Blog Tutorial, Teknologi dan Kesehatan: Mangaip Blog | Berita Terkini dan Terbaru: Terbaru.co.id

 

عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍٍ اْلأَنْصَاريِ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((إِنَّ مِـمَّـا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى : إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ ؛ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ)). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.

Dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’”

TAKHRÎJ HADÎTS

Hadits ini shahîh diriwayatkan oleh: Al-Bukhâri (no. 3483, 3484, 6120), Ahmad (IV/121, 122, V/273), Abû Dâwud (no. 4797), Ibnu Mâjah (no. 4183), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmul Ausath (no. 2332), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ' (IV/411, VIII/129), al-Baihaqi (X/192), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 3597), ath-Thayâlisi (no. 655), dan Ibnu Hibbân (no. 606-at-Ta’lîqâtul Hisân).

PENJELASAN HADÎTS

A. Pengertian Malu

Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci.[Lihat Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ' (hal. 53)]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.

Al-Junaid rahimahullâh berkata, “Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[Madârijus Sâlikîn (II/270). Lihat juga Fathul Bâri (X/522) tentang definisi malu.]

Kesimpulan definisi di atas ialah bahwa malu adalah akhlak (perangai) yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.[Lihat al-Haya' fî Dhau-il Qur-ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah (hal. 9).]

B. Keutamaan Malu
1). Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ.
“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” (Muttafaq ‘alaihi)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,


اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.
“Malu itu kebaikan seluruhnya.”
[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37/60), dari Shahabat ‘Imran bin Husain]

Malu adalah akhlak para Nabi , terutama pemimpin mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lebih pemalu daripada gadis yang sedang dipingit.

2). Malu adalah cabang keimanan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.

“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.”
[Shahîh: HR.al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35), Abû Dâwud (no. 4676), an-Nasâ-i (VIII/110) dan Ibnu Mâjah (no. 57), dari Shahabat Abû Hurairah. Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr (no. 2800).]

3). Allah Azza wa Jalla cinta kepada orang-orang yang malu.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُـحِبُّ الْـحَيَاءَ وَالسِّتْرَ ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ.
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi, maka hendaklah dia menutup diri.”
[Shahîh: HR.Abû Dawud (no. 4012), an-Nasâ-i (I/200), dan Ahmad (IV/224) dari Ya’la Radhiyallahu 'anhu]

4). Malu adalah akhlak para Malaikat.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


أَلاَ أَسْتَحْيِ مِنْ رُجُلٍ تَسْتَحْيِ مِنْهُ الْـمَلاَ ئِكَةُ.
“Apakah aku tidak pantas merasa malu terhadap seseorang, padahal para Malaikat merasa malu kepadanya.” [Shahîh: HR.Muslim (no. 2401)]

5). Malu adalah akhlak Islam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ.
“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.” [Shahîh: HR.Ibnu Mâjah (no. 4181) dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/13-14) dari Shahabat Anas bin Malik t . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 940)]

6). Malu sebagai pencegah pemiliknya dari melakukan maksiat.
Ada salah seorang Shahabat Radhiyallahu 'anhu yang mengecam saudaranya dalam masalah malu dan ia berkata kepadanya, “Sungguh, malu telah merugikanmu.” Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.


دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ.
“Biarkan dia, karena malu termasuk iman.”
[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 24, 6118), Muslim (no. 36), Ahmad (II/9), Abû Dâwud (no. 4795), at-Tirmidzî (no. 2516), an-Nasâ-i (VIII/121), Ibnu Mâjah (no. 58), dan Ibnu Hibbân (no. 610) dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu.]

Abu ‘Ubaid al-Harawi rahimahullâh berkata, “Maknanya, bahwa orang itu berhenti dari perbuatan maksiatnya karena rasa malunya, sehingga rasa malu itu seperti iman yang mencegah antara dia dengan perbuatan maksiat.” [Fathul Bâri (X/522).]

7). Malu senantiasa seiring dengan iman, bila salah satunya tercabut hilanglah yang lainnya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.
“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.”
[Shahîh: HR.al-Hâkim (I/22), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/223), al-Mundziri dalam at-Targhîb wat Tarhîb (no. 3827), Abû Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (IV/328, no. 5741), dan selainnya. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 3200).]

8). Malu akan mengantarkan seseorang ke Surga.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ.
“Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di Neraka.”[Shahîh: HR.Ahmad (II/501), at-Tirmidzî (no. 2009), Ibnu Hibbân (no. 1929-Mawârid), al-Hâkim (I/52-53) dari Abû Hurairah t . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 495) dan Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 3199).]

C. Malu adalah warisan para Nabi terdahulu

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda , “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari kalimat kenabian terdahulu…"

Maksudnya, ini sebagai hikmah kenabian yang sangat agung, yang mengajak kepada rasa malu, yang merupakan satu perkara yang diwariskan oleh para Nabi kepada manusia generasi demi generasi hingga kepada generasi awal umat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara perkara yang didakwahkan oleh para Nabi terdahulu kepada hamba Allah Azza wa Jalla adalah berakhlak malu. [Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/497) dan Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 179-180). Cet. I Dâr Ibni Hazm.]

Sesungguhnya sifat malu ini senantiasa terpuji, dianggap baik, dan diperintahkan serta tidak dihapus dari syari’at-syari’at para nabi terdahulu.[Lihat Syarh al-Arba’în (hal. 83) karya Ibnu Daqîq al-‘Îed.]

D. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Salllam Adalah Sosok Pribadi Yang Sangat Pemalu
Allah Azza wa Jalla berfirman :

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya)[1228], tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar" [Al-Ahzâb/ 33:53]

Abu Sa’id al-Khudri rahimahullah berkata,


كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِـيْ خِدْرِهَا.
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit di kamarnya.” [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6119).]

Imam al-Qurthubi rahimahullâh berkata, “Malu yang dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari keimanan dan perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharîzah (tabiat). Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang usahakan (muktasab), sehingga menjadi tabiat itu sendiri. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki dua jenis malu ini, akan tetapi sifat tabiat beliau lebih malu daripada gadis yang dipingit, sedang yang muktasab (yang diperoleh) berada pada puncak tertinggi.”[Fathul Bâri (X/522).]

E. Makna Perintah "Berbuatlah Sesukamu" di Hadits Ini

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , “Jika engkau tidak merasa malu, berbuatlah sesukamu.”

Ada beberapa pendapat ulama mengenai penafsiran dari perintah dalam hadits ini, diantaranya:
1). Perintah tersebut mengandung arti peringatan dan ancaman
Maksudnya, jika engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah apa saja sesukamu karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan yang setimpal dengan perbuatanmu itu, baik di dunia maupun di akhirat atau kedua-duanya. Seperti firman Allah Azza wa Jalla :

"Artinya : …………….. perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan" [Fushilat : 40]

2). Perintah tersebut mengandung arti penjelasan.
Maksudnya, barangsiapa tidak memiliki rasa malu, maka ia berbuat apa saja yang ia inginkan, karena sesuatu yang menghalangi seseorang untuk berbuat buruk adalah rasa malu. Jadi, orang yang tidak malu akan larut dalam perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi orang-orang yang mempunyai rasa malu. Ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:


مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.

“Barangsiapa berdusta kepadaku dengan sengaja, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di Neraka.”[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 110), Muslim (no. 30), dan selainnya dengan sanad mutawâtir dari banyak para Shahabat.]

Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas bentuknya berupa perintah, namun maknanya adalah penjelasan bahwa barangsiapa berdusta terhadapku, ia telah menyiapkan tempat duduknya di Neraka.[Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/498) dan Qawâ’id wa Faawâid (hal. 180)]

3). Perintah tersebut mengandung arti pembolehan.
Imam an-Nawawi rahimahullâh berkata, “Perintah tersebut mengandung arti pembolehan. Maksudnya, jika engkau akan mengerjakan sesuatu, maka lihatlah, jika perbuatan itu merupakan sesuatu yang menjadikan engkau tidak merasa malu kepada Allah Azza wa Jalla dan manusia, maka lakukanlah, jika tidak, maka tinggalkanlah.” [Fathul Bâri (X/523).]

Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang pertama, yang merupakan pendapat jumhur ulama.[Lihat Madârijus Sâlikîn (II/270).]

F. Malu Itu Ada Dua Jenis

1). Malu yang merupakan tabiat dan watak bawaan
Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.
“Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.” [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37)]

Malu seperti ini menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk dan tercela serta mendorongnya agar berakhlak mulia. Dalam konteks ini, malu itu termasuk iman. Al-Jarrâh bin ‘Abdullâh al-Hakami berkata, “Aku tinggalkan dosa selama empat puluh tahun karena malu, kemudian aku mendapatkan sifat wara’ (takwa).”[Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/501).]

2). Malu yang timbul karena adanya usaha.

Yaitu malu yang didapatkan dengan ma’rifatullâh (mengenal Allah Azza wa Jalla ) dengan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha inilah yang dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari iman. Siapa saja yang tidak memiliki malu, baik yang berasal dari tabi’at maupun yang didapat dengan usaha, maka tidak ada sama sekali yang menahannya dari terjatuh ke dalam perbuatan keji dan maksiat sehingga seorang hamba menjadi setan yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Kita memohon keselamatan kepada Allah Azza wa Jalla.[Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 181)]

Dahulu, orang-orang Jahiliyyah –yang berada di atas kebodohannya- sangat merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk karena dicegah oleh rasa malunya, diantara contohnya ialah apa yang dialami oleh Abu Sufyan ketika bersama Heraklius ketika ia ditanya tentang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Sufyan berkata,


فَوَ اللهِ ، لَوْ لاَ الْـحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَلَيْهِ.
Artinya :“Demi Allah Azza wa Jalla, kalau bukan karena rasa malu yang menjadikan aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya aku akan berbohong kepadanya (tentang Allah Azza wa Jalla).”[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 7).]

Rasa malu telah menghalanginya untuk membuat kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena ia malu jika dituduh sebagai pendusta.

G. Konsekuensi Malu Menurut Syari’at Islam

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ، مَنِ اسْتَحْىَ مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْيَذْكُرٍِِِِِِِِِِِِِِ الْـمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ اْلأَخِِِِرَة تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ.

Artinya : “Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu. Barang-siapa yang malu kepada Allah k dengan sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu.” [Hasan: HR.at-Tirmidzi (no. 2458), Ahmad (I/ 387), al-Hâkim (IV/323), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4033). Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 935).]

H. Malu Yang Tercela

Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullâh dan yang lainnya mengatakan, “Malu yang menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang disyari’atkan, bahkan itu ketidakmampuan dan kelemahan. Adapun ia dimutlakkan dengan sebutan malu karena menyerupai malu yang disyari’atkan.”[26] Dengan demikian, malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah Azza wa Jalla sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah tercela karena pada hakikatnya ia adalah kelemahan dan ketidakberdayaan. [Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hal. 182)]

Di antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu syar’i, malu mengaji, malu membaca Alqur-an, malu melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban seorang Muslim, malu untuk shalat berjama’ah di masjid bersama kaum muslimin, malu memakai busana Muslimah yang syar’i, malu mencari nafkah yang halal untuk keluarganya bagi laki-laki, dan yang semisalnya. Sifat malu seperti ini tercela karena akan menghalanginya memperoleh kebaikan yang sangat besar.

Tentang tidak bolehnya malu dalam menuntut ilmu, Imam Mujahid rahimahullah berkata,


لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ.
Artinya : “Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu.” [Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri secara mu’allaq dalam Shahîh-nya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ' fil ‘Ilmi dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jâmi’ bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/534-535, no. 879).]

Ummul Mukminin ‘Âisyah radhiyallâhu ‘anha pernah berkata tentang sifat para wanita Anshâr,


نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ ، لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ.

Artinya : “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu Agama.” [Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dalam Shahîhnya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ' fil ‘Ilmi secara mu’allaq.]

Para wanita Anshâr radhiyallâhu ‘anhunna selalu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika ada permasalahan agama yang masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi menimba ilmu yang bermanfaat.

Ummu Sulaim radhiyallâhu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ! Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak malu terhadap kebenaran, apakah seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi (berjimâ’)?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Apabila ia melihat air.”[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 130) dan Muslim (no. 313).]

I. Wanita Muslimah Dan Rasa Malu

Wanita Muslimah menghiasi dirinya dengan rasa malu. Di dalamnya kaum muslimin bekerjasama untuk memakmurkan bumi dan mendidik generasi dengan kesucian fithrah kewanitaan yang selamat. Al-Qur-anul Karim telah mengisyaratkan ketika Allah Ta’ala menceritakan salah satu anak perempuan dari salah seorang bapak dari suku Madyan. Allah Ta’ala berfirman,
...
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, ‘Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu memberi minum (ternak kami)…” [Al-Qashash: 25]

Dia datang dengan mengemban tugas dari ayahnya, berjalan dengan cara berjalannya seorang gadis yang suci dan terhormat ketika menemui kaum laki-laki; tidak seronok, tidak genit, tidak angkuh, dan tidak merangsang. Namun, walau malu tampak dari cara berjalannya, dia tetap dapat menjelaskan maksudnya dengan jelas dan mendetail, tidak grogi dan tidak terbata-bata. Semua itu timbul dari fithrahnya yang selamat, bersih, dan lurus. Gadis yang lurus merasa malu dengan fithrahnya ketika bertemu dengan kaum laki-laki yang berbicara dengannya, tetapi karena kesuciannya dan keistiqamahannya, dia tidak panik karena kepanikan sering kali menimbulkan dorongan, godaan, dan rangsangan. Dia berbicara sesuai dengan yang dibutuhkan dan tidak lebih dari itu.

Adapun wanita yang disifati pada zaman dahulu sebagai wanita yang suka keluyuran adalah wanita yang pada zaman sekarang disebut sebagai wanita tomboy, membuka aurat, tabarruj (bersolek), campur baur dengan laki-laki tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan syari’at, maka wanita tersebut adalah wanita yang tidak dididik oleh Al-Qur-an dan adab-adab Islam. Dia mengganti rasa malu dan ketaatan kepada Allah dengan sifat lancang, maksiat, dan durhaka, merasuk ke dalam dirinya apa-apa yang diinginkan musuh-musuh Allah berupa kehancuran dan kebinasaan di dunia dan akhirat. Nas-alullaah as-salaamah wal ‘aafiyah.[Lihat al-Wâfi fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 153)]

Setiap suami atau kepala rumah tangga wajib berhati-hati dan wajib menjaga istri dan anak-anak perempuannya agar tidak mengikuti pergaulan dan mode-mode yang merusak dan menghilangkan rasa malu seperti terbukanya aurat, bersolek, berjalan dengan laki-laki yang bukan mahram, ngobrol dengan laki-laki yang bukan mahram, pacaran, dan lain-lain. Para suami dan orang tua wajib mendidik anak-anak perempuan mereka di atas rasa malu karena rasa malu adalah perhiasan kaum wanita. Apabila ia melepaskan rasa malu itu, maka semua keutamaan yang ada padanya pun ikut hilang.

J. Buah Dari Rasa Malu

Buah dari rasa malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan). Siapa saja yang memiliki rasa malu hingga mewarnai seluruh amalnya, niscaya ia akan berlaku ‘iffah. Dan dari buahnya pula adalah bersifat wafa' (setia/menepati janji).

Imam Ibnu Hibban al-Busti rahimahullaah berkata, “Wajib bagi orang yang berakal untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara berkah yang mulia yang didapat dari membiasakan diri bersikap malu adalah akan terbiasa berperilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela. Disamping itu berkah yang lain adalah selamat dari api Neraka, yakni dengan cara senantiasa malu saat hendak mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Karena, manusia memiliki tabiat baik dan buruk saat bermuamalah dengan Allah dan saat berhubungan sosial dengan orang lain.

Bila rasa malunya lebih dominan, maka kuat pula perilaku baiknya, sedang perilaku jeleknya melemah. Saat sikap malu melemah, maka sikap buruknya menguat dan kebaikannya meredup. [Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ' (hal. 55).]

Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat rasa malunya maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Siapa yang hilang rasa malunya, pasti hilang pula kebahagiaannya; siapa yang hilang kebahagiaannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia; siapa yang dibenci manusia pasti ia akan disakiti; siapa yang disakiti pasti akan bersedih; siapa yang bersedih pasti memikirkannya; siapa yang pikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa baginya dan tidak mendatangkan pahala. Tidak ada obat bagi orang yang tidak memiliki rasa malu; tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak memiliki sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan. Siapa yang sedikit rasa malunya, ia akan berbuat sekehendaknya dan berucap apa saja yang disukainya.” [Ibid (hal. 55).]

FAWÂÎD HADÎTS

1. Malu adalah salah satu wasiat yang disampaikan oleh para Nabi terdahulu.
2. Sifat malu semuanya terpuji dan senantiasa disyari’atkan oleh para Nabi terdahulu.
3. Hadits ini menunjukkan bahwa malu itu seluruhnya baik. Barangsiapa banyak rasa malunya, banyak pula kebaikannya dan manfaatnya lebih menyeluruh. Dan barangsiapa yang sedikit rasa malunya, sedikit pula kebaikannya.
4. Malu adalah sifat yang mendorong pemiliknya untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk.
5. Malu yang mencegah seseorang dari menuntut ilmu dan mencari kebenaran adalah malu yang tercela.
6. Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah malu.
7. Buah dari malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan) dan wafa' (setia).
8. Malu adalah bagian dari iman yang wajib.
9. Orang-orang Jahiliyyah dahulu memiliki rasa malu yang mencegah mereka dari mengerjakan sebagian perbuatan jelek.
10. Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu dan menyukai sifat malu serta mencintai hamba-hamba-Nya yang pemalu.
11. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sosok pribadi yang sangat pemalu.
12. Malaikat mempunyai sifat malu.
13. Lawan dari malu adalah tidak tahu malu (muka tembok), ia adalah perangai yang membawa pemiliknya melakukan keburukan dan tenggelam di dalamnya serta tidak malu melakukan maksiat secara terang-terangan. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

Artinya : “Setiap umatku pasti dimaafkan, kecuali orang yang melakukan maksiat secara terang-terangan.” [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6096) dan Muslim (no. 2990) dari Abû Hurairah]
14. Para orang tua wajib menanamkan rasa malu kepada anak-anak mereka.
كُلُّ أُمَّـتِيْ مُعَافًى إِلاَّ الْـمُجَاهِرِيْنَ.

Daftar Pustaka 

1. Alqurân dan terjemahnya.
2. Kutubus Sab’ah.
3. Al-Adâbul Mufrad, karya Imam al-Bukhâri.
4. Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibbân.
5. Mustadrak al-Hâkim.
6. Sunan al-Baihaqi.
7. Syarhus Sunnah, karya Imam al-Baghawi.
8. Al-Mu’jâmul Kabîr, karya Imam ath-Thabrâni.
9. Al-Mu’jâmush Shaghîr, karya Imam ath-Thabrâni.
11. Hilyatul Auliyâ', karya Imam Abu Nu’aim.
12. At-Targhîb wat Tarhîb, karya Imam al-Mundziri.
13. Fathul Bâri, karya al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni, cet. Dârul Fikr.
14. Madârijus Sâlikîn, karya Ibnul Qayyim, cet. Dârul Hadîts-Kairo.
15. Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ', karya Ibnu Hibbân al-Busti.
16. Jâmi’ul ‘Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhim Bâjis.
17. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
18. Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr.
19. Qawâ’id wa Fawâid minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthân.
20. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
21. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
22. Al-Hayâ' fî Dhau-il Qurânil Karîm wal Ahâdîtsi ash-Shahîhah, karya Syaikh Sâlim bin ‘Ied al-Hilâli.
23. Bahjatun Nâzhirîn Syarah Riyâdhish Shâlihîn, karya Syaikh Sâlim bin ‘Ied al-Hilâli.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Artikel ini diramu dari : http://almanhaj.or.id

MAKALAH MAQQSHID AL- SYAR’IYYAH

MAKALAH MAQQSHID AL- SYAR’IYYAH
Di Posting Oleh : Admin
Kategori : Makalah Blog Tutorial, Teknologi dan Kesehatan: Mangaip Blog | Berita Terkini dan Terbaru: Terbaru.co.id

KATA PEGANTAR

Assalamu’alaikum wr wb

Alhamdulillah Rabbil Alamin,puji syukur kehadirat-Nya yang memberikan rahmat,taufik serta hidayah yang luar biasa sehingga tugas kolektif makalah dengan judul “Maqasid syari’ah” dapat terselesaikan dengan tepat waktu meskipun dalam pembuatan dan penyusunanya mengalami kendala. Dan tidak lupa Sholawat serta salam kita curahkan ke Nabi agung sepanjang zaman Nabi Muhammad SAW yang akan kita nantikan syafa’atnya di yaumul qiyamah.

Makalah yang telah disusun ini akan dipresentasikan untuk menjadi bahan diskusi sebagai emplementasi program aktif perkuliahan kami pada mata kuliahu Ushul Fiqih secara tertulis. Dalam pembentukan hokum perlu adanya perumusan-perumusan tertentu semisalnya hokum mengenai khamar dan minuman sejenisnya yang memabukkan di samping hal itu perlu adanya penjelesan-penjelasan terkait hal tersebut maka fungsi dari maqasid syari’ahlah yang menguak perihal didalamnya. Metode yang digunakan di dalam praktek maqasid syari’ah ini banyak berkaitan dengan cabang-cabang ilmu Ushul Fiqih.

Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat menambah dunia keilmuan khususnya pemahamaan mata kuliah “Ushul Fiqih” yang akan memberikan manfaat dan dampak positif dunia ke-Akademi-an. Dalam penyusunanya banyak kekhilafan yang terjadi secara sadar maupun tidak disadari yang jauh dari sempurna maka dibutuhkan kritik dan saran guna membangun penyempurnaan makalah ini.
Wa’alaikum salam wr wb

Jepara , 19 Desember 2012
 Penyusun


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Allah sebagai pembuat segaala hokum islam sedangkan Rasul adalah penyampainya. Berkaitan dengan itu sangat tidak dimungkinkan bilamana membahas Al-Quran dan Sunnah  tetapi kaitan penjelesan-penjelasan perlu adanya metode. Ushul Fiqih adalah metode dalam pencarian-pencarian hokum yang sudah tertulis di dalam al-Quran dan Sunnah diulas sehingga memunculkan bayan guna memberikan rukhsah yang berkaitan kegiatan mu’amalat.

Di dalam Al-Qur’an dan Sunnah banyak kejelasan yang belum terkuak dari sumber hukum islam tersebut perlunya adanya metode dalam perumusan-perumusan hukum islam sangatlah urgent di dalamnya. Oleh karena hal itu kami ingin membahas sekaligus mengupas apa itu maqasid syari’ah serta kegunaanya.

B.    Rumusan Masalah

1.    Apa yang dimaksud dengan maqasid syari’ah ?
2.    Bagaimana kegunaan maqasid syari’ah itu dalam memberikan bayan tentang peribadatan ?
3.    Bagaimana menetapkan hokum menggunakan maqasid syari’ah ?

C.    Tujuan Penulisan

1.    Memberikan penjelasan arti maqasid syari’ah
2.    Menjadikan insane yang berhati mulia dengan mempelajari maqasid syar’aah
3.    Untuk memberikan kemudahan dalam memahami suatu hokum dalam Al-Qur’an dan Sunnah.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian

Seperti telah dimukakan para ahli ushul fiqih Al-Qur’an dan Sunnah Rasullah di samping menunjukkan hokum dengan bunyi bahasanya ,juga dengan ruh tasyri’I atau maqqsd syari’at . Melalui Maqqsid Syari’at iniah ayat-ayat tak dan hadits hokum yang secara kuantitatif sngat terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang secara kebahasaan tidak ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Dari jabaran diatas dapat dipahamai Maqasid Syari’ah adalah metode dalam perumusan hokum islam yang ada di ayat – ayat Al-Qur’an dan Sunnah untuk kemaslahatan umat manusia oleh Allah dan Rasul-Nya.

Abu Ishaq al-Syatibi melaporkan hasil penilitian para ulama terhadap ayat – ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasullah bahwa hokum yang disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat kelak. Untuk perihal kemaslhatan tersebut Abu Ishaq al-Syatibi membagi maqasid syar’ah menjadi tiga tingkatan, yaitukebutuhan dhaururiyat,kebutuhan hajiyat,dan kebutuhan tahsiniyat.

a.    Kebutuhan Dharuriyat

Tingkat kebutuhan ini harus ada atau disebut kebutuhan primer karena bila hal ini tidak ada dan tidak terpenuhi maka keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat akan terancam keselamtannya kelakk.

Menurut Abu Ishaq al-Syatibi kebuthan ini memenuhi lima hal dalam kategori kebutuhan yaitu memlihara agama,memilihara jiwa,memlihara akal,memlihara kehormatani,dan keturunan. Untuk hal inilah syariat ilam diturunkan. Setiap ayat hokum dapat ditteliti bahwasanya di di dalamnya dapat ditemukan alas an pembentukanya yang tidak lain dan tidak bukanuntuk kemaslahatan umat manusia tersebut dalam memelihara kelima pokok d atas. Misalnya,firman Allah dalam mewajibkann jihad :

Artinya :”dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”(Q.S,Al-Baqarah : 193).

Dalam hal jiha disini dapat dilihat jihad itu wajib dan di dalamnya diatur utuk menambah keimanan serta ketaatan. Selain hal ini pula terdapat nilai- nilai penghargaan agama Allah dalam menjaganya (islam) serta melancarkan jalan dakwah bilamana mengalami gangguan.
Dan firman-Nya dalam mewajibkan qishash :

Artinya :”dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”(Q.S.Al-Baqarah : 179)

Dari ayat diatas dapat diketahui bahwa kenapa disyariatkan qishash karena dengan hal ini ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.

b.    Kebutuhan Hajiyat

Kebutuhan Hajiyat ialah kebutuhan sekunder dimana bilamana tidak terwujudkan tidak mengancam keselamtanya,namun akan mengalami kesulitan itu. Adanya hokum rukhshah (keringanan) seperti dijelaskan Abd al-Wahab Khallaf,adalah sebagai contoh dari kepedulian Syariat islam terhadap kebutuhan ini.

Dalam lapangan ibadat mensyariatkan beberapa hokum rukhshah (keringanan) bilamana kenyataanya mendapat kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif. Misalnya, Islam membolehkan tidak berpuasa bilamana dalam perjalanan jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari lain dan demikian pula dengan orang sakit. Kebolehan meng-qasar- shalat adalah dalam rangka memnuhi kebutuhan hajiyat ini.
Dalam lapangan mu’amalat disyariatkan banyak macam kontrak (akad),serta macam-macam jual beli ,sewa menyewa syirkah (perseroan) dan mudharabah (berniaga dengan modal orang lain dengan perjanjian bagi laba) dan bebrapa rukhsah dalam mu’amalat. Dalam lapangan ‘uqubat (sanksi hokum). Islam mensyariatkan diyat bagi pembunuhan tidak sengaja serta rukhsah-rukhsah yang lainya. Suatu kesempitan/kesukaran pasti ada keringanan dalam syariat Islam aalah ditarik dari petunjuk ayat Al-Qur’an juga. Misalnya,ayat 6 Surat al-Maidah :

Artinya : 
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit  atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh  perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

c.    Kebutuhan Tahsiniyat

Kebutuhan yang satu ini bias dikatakan seprerti kebutuhan tersier apabla tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan.
Dalam berbagai bidang kehidupan ,seperti ibadat, mu’amalat ,dan ‘uqubat,Allah telah mensyariatkan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsiniyat. Dalam lapangan ibadat ,kata Abd. Wahhab Khallaf,umpamanya Islam mensyriatkan bersuci baik dari najis atau dari hadas,baik pada badan maupun pada tempat dan lingkungan. Islam menganjurkan berhias ketika hendak ke Masjid,menganjurkan memperbanyak ibadah sunnah.

Dalam lapangan mu’amalat Islam melarang boros,kikir,menaikkan harga,monopoli dan llain-lainya. Dalam bidang ‘uqubat Islam mengharamkan membunuh anak-anak dalam peperangan dan kaum wanita melarang melakukan muslah (menyiksa mayit dalam peperangan).

Tujuan Syari’at seperti tersebut tadi bias disimak dalam beberapa ayat,misalnya ayat 6 Surat al-Maidah :

Artinya :

“(5) pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.(6) Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit  atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh  perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

B.    Peranan Maqasid Syari’ah dalam Pengembangan Hukum

Pengetahuan tentang Maqashid Syari’ah,seperti ditegaskan oleh Abd. Al-Wahhab Khallaf adalah hal sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan Sunnah ,menyelesaikan dali-dalil yang bertentang dan sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hokum terhadap kasus tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah kajian kebahaan.

Metode istinbat seperti qiyas,istihsan, dan maslahah mursalah adalah metode-metode pengembangan hokum islam yang didasarkan atas maqasid syari’ah,Qiyas,misalnya baru bias dilaksanakan bilamana dapat ditemukan maqasid syari’ahnya yang merupakan alas an logis (‘illat) dari suatu hokum. Sebagai contoh ,tentang kasus diharamkanya minuman khamar (Q.S Al-Maidah :90 ). Dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa maqasid syari’ah dari diharamkanya khamar ialah karena sifat memabukkanya ,sedangkan khamar itu sendiri hanyalah salah satu contoh dari yang memabukkan.

Dari sini dapat dikembangkan dengan metode analogi (qiyas) bahwa setiap yang sifatnya memabukkan adalah juga haram. Dengan demikian ‘illat hokum dalam suatu ayat atau hadis bila diketahui ,maka terhadapnya dapat dilakukan qiyas (analogi). Artinya ,qiyas hanya bias dilakukan bilamana ada ayat atau hadits yang secara khusus dapat dijadikan tempat meng-qiyas-kannya yang dikenal dengan al-maqis’alaih (tempat meng-qiyas-kan).

Seperti yang disebut diata maqasid syari’ah ialah cabang dari ilmu ushul fiqih tersebut merupakan metode dimana untuk mencari hokum tertentu dan kemudian dikembangakan melalui banyak metode seperti istihsan,maslahah mursalah dsb. Sedangkan metode penetapan hokum melalui maqasid syari’ah dalam praktek-praktek istinbat tersebut yaitu praktek qiyas,istihsann, dan istislah (maslahah mursalah) dan lainya seperti istishab,sad al-zari’ah dan urf, disamping sebagai metode penetapan hokum melaui maqasid syari’ah,juga oleh sebagian besar ulama Ushul Fiqih disebut sebagai dalil-dalil pendukung seperti telah diuraikan secara singkat pada pembahasan dalil-dalil hokum di atas.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Maqasid Syari’ah merupakan cabang dari Ushul Fiqiih yang dimana pembahasanya untuk merumuskan penjelasan yang ada di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh hal tersebut dalam megatasi ke-ambiguan-an digunakanlah maqasid syari’ah tetapi dalam tingkatanya memiliki keluwesan permaslahan sendiri terutama dalam mengatasi kebutuhan –kebutuhan manusia tentang ibadah mu’amalat khususnya.

B. PENUTUP

    Dalam makalah ini  tentulah masih banyak kekurangan   baik dari sisi  penulisan dan penyusunan , lebih lagi adalah bobot materi yang kami ulas dalam  makalah ini, tentu sangat kurang hal itu dikarenakan terbatasnya pengetahuan yang kami miliki serta  referensi yanag kami gunakan , lantaran karena itu kami mengharap kepada seluruh pembaca  untuk memberikan kritikan serta saran  yang bersifat membangun, demi kesempurnaan makalah ini.

    Demikian makalah dari kami buat semoga bermanfaat bagi pembaca, dan semua kalangan yang menggunakan makalah ini, kami minta ma;af apabila  ada ,kesalahan ,
Wassalammualaikum. Wr, wb.







(makalah) Perbedaan Zakat Dan Shadaqah

(makalah) Perbedaan Zakat Dan Shadaqah
Di Posting Oleh : Admin
Kategori : Makalah Blog Tutorial, Teknologi dan Kesehatan: Mangaip Blog | Berita Terkini dan Terbaru: Terbaru.co.id

BAB I
PENDAHULUAN

1.    Latar  Belakang

Zakat merupakan ibadah yang wajib dikerjakan oleh setiap individu muslim yang sudah memenuhi kriteria kewajiban zakat. Syari’at zakat merupakan ibadah dalam bentuk membersihkan setiap kekayaan yang dimiliki oleh individu muslim. Dan seperti yang telah kita ketahui bersama, Zakat sendiri ada yang sifatnya pembersihan jiwa seorang muslim tanpa terkecuali (zakat fitrah), ada juga yang kewajibannya bersifat pembersihan harta yang diwajiban khusus bagi kalangan tertentu (terikat oleh ketentuan jumlah dan waktu [haul]) yang sering juga disebut dengan zakat mal seperti zakat kekayaan, zakat tijarah, zakat perhiasan emas, zakat harta temuan, zakat harta galian, dan zakat peternakan. Dalam tulisan kali ini, penulis mengkhususkan pembahasan selanjutnya pada persoalan zakat dalam artian kriteria yang ke dua ini (zakat mal).

2.    Rumusan Masalah

1.    Kapan zakat fitrah itu dilaksanakan ?
2.    Hadits tentang zakat fitrah
3.    Jumlah nisab zakat mal

3. Tujuan Pembuatan Makalah 
        
1.    Supaya mengerti pelaksanaan zakat fitrah
2.    Supaya mengerti dan dapat mengaplikasikan zakat mal di kalangan masyarakat      
3.    Supaya mengerti bahwa tidak semua kebaikan termasuk dalam shadaqah.




1.     Zakat Fitrah

Dari sahabat ibnu Umar ra.berkata :

عن ابْن عمر رضى الله عنهما قال : فرض رسو ل الله صلّى الله وسلّم زكا ة الفطْر صاعاً من تمر, أوصاعاً من شعيرعلى العبذ والحُرِّ والذَّكروالأَنثى والصّغير والكبير من المسلمين, وأمر بها أن تؤد قبْل خرو خِ النَا س إلى الصَلا ة
Artinya:
       Ibnu Umar RA menceritakan , “Rasulullah SAW mewajibkan agar membayar zakat fitrah satu sukat dari buah kurma atau satu sukat gandum atas setiap hamba sahaya orang merdek,  laki-laki, perempuan, anak-anak, dan orang tua dari umat islam, beliau menyuruh menyerahkannya sebelum orang keluar untuk shalat idul fitri”

       Penjelasan  :

1. Zakat Fitrah ialah Zakat yang dikeluarkan pada tanggal 1 syawal sebagai tanda penyucian diri setelah menjalankan puasa ramadhan,dan zakat  tersebut-bagikan kepada yang berhak sebesar satu sukat, sesuai keadaan daerah misalkan makanan pokoknya beras maka zakatnya brupa beras.pengeluaran yang seperti itu dinamakan Diqiyaskan atau disamakan .
2. Pada hadits ini dijelaskan bahwa bayi dan budak wajib membayar zakat namun yang membayar zakat tersebut adalah orang yang punya jadi misalkan ada bayi yang membayar zakat orang tuanya begitu pula dengan budak zakatnya dibayar majikannya.
3. Sebaiknya zakat fitrah dibayarkan sebelum shalat idhul fitri di tempat tersebut,misalkan terlambat dari waktu tersebut maka harus dibayar juga karena merupakan kewajiban, tetapi pahalanya seperti shadaqah biasa. Dan diutamakan memeberikan zakat tersebut kepada fakir miskin di tempat membayarnya .

 “Adapun hadits lain yang menjelaskan tentang zakat fitrah:

حَدَّثَنَا مَحْمُوْدُ بْنِ غِيْلاَنِ حَدَّثَنَا وَكِيْعٌ وَعَنْ زَيْدِ بْنِ سَلاَ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَعِيْدِ الْخُدْرِى قَالَ قُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ اِذَا كَانَ نَبِيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صَامَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ اَوْ صَاعًا مِنْ سَعِيْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ حَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ كَلَمِ بِهِ النَّاسِ مِنْ اِنِّى لاَرِى مَدَّيْنَ مِنْ سَمْرَا، الشَّامِ تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ حَمْرٍ (رَوَاهُ التُّرْمُذِى فِى باَبِ مَا جَاءَ فِى صَدَقَةِ الْفِطْرِ الجزء الثَّانِى
keterangan hadist :

“ Sedekah (zakat) fitrah ini dinisabkan kepada lafadz “fithr” (fitri) karena ia menjadi wajib saat orang-orang telah menyelesaikan puasa ramadhan.”

Ibnu Khutaibah berkata maksud sedekah (zakat) fitrah adalah:

Sedekah (Zakat) jiwa yang diambil dari kata fitrah berarti tabiat dasar penciptaan. Namun pendapat pertama lebih mendasar, dan didukung oleh sabda beliau SAW pada sebagian jalur periwayatan hadits tersebut akan disebutkan (fitrah pada bulan ramadhan).

Ibnu daqiq al-Id berkata: menurut Urf Syar’i (syariat) telah memberi makna tersendiri bagi lafadz tersebut yakni kewajiban. Maka memahami lafadz pada hadits tersebut dengan makna syar’i adalah lebih tepat. Kenyataan bahwa sedekah ini dinamakan juga sebagai zakat. Telah mendukung pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Daqia. Sesuai dengan firman Allah: “Dan keluarkanlah zakat” yang kemudian Nabi menjelaskan ketentuan-ketentuan yang termasuk di dalamnya adalah zakat fitrah.
Dari sahabat Umar bin khatab ra.berkata :

أّْنّ ر سو ل الله صلى الله عليه وسلم ا مر بز كا ة الفٌطر أن تؤ دّ ي  قبل خر وخ الناّس ألى الصلا ة
“Rasulullah saw memerintahkan supaya mengeluarkan zakat fitrah sebelum orang- orang keluar untuk menunaikan shalat (ied) .”

فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر طهرة للصائم من اللغو والرفت وطعمة للمساكن.
“Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah, untuk membersihkan orang yang berpuasa dari omongan yang tidak ada manfaatnya dan omongan kotor, serta untuk memberi makanan pada orang yang miskin.”

Dan dijelaskan pula firman Allah Q.S At-Taubah ayat 60 tentang orang yang berhak menerima Zakat:

60.  Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
- Dosa orang yang tidak mengeluarkan zakat

     Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Kuda itu ada tiga macam: Berupa pahala, atau penutup kepentingan, atau dosa. Adapun yang berupa pahala, maka seorang yang menyediakannya untuk perang jihad fi sabilillah, lalu dipeliharanya dalam kebun, ladang dengan tali yang panjang, maka apa yang dimakan dalam kebun/ladang itu akan tercatat kebaikan bagi pemiliknya, dan andaikan kuda itu mendaki bukit, maka bekas-bekasnya dan kotorannya pun menjadi kebaikan, dan bila ia minum dari sungai, meskipun tidak bermaksud memberi minum, itu berupa kebaikan bagi pemiliknya. Adapun orang yang memelihara untuk kebanggaan, ria dan permusuhan terhadap orang Islam, maka itu berupa dosa semata-mata terhadap pemiliknya. (Bukhari, Muslim).

Dan ketika Nabi saw. ditanya tentang himar (keledai). Maka jawab Nabi saw.: Tiada diturunkan kepadaku mengenai himar, kecuali ini ayat yang penuh padat lengkap: faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan yarahu, waman ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarahu. (Siapa yang berbuat seberat zarrah kebaikan pasti ia akan melihat hasil pahalanya. Dan siapa yang berbuat seberat zarrah kejahatan maka pasti akan melihat hasil balasan dosanya). (Bukhari, Muslim).
Q.S. Al-Baqoroh (2) : 245

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan

2.   Zakat Mal

Zakat maal ialah Zakat yang dikenakan atas harta yang dimiliki oleh individu atau lembaga dengan syarat- syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan secara hokum (syara’) .
    Syarat – syarat Harta: 

1.    Milik Penuh
2.    Berkembang
3.    Lebih dari kebutuhan pokok
4.    Bebas dari hutang
5.    Berlalu Satu haul

Istilah- istilah dalam zakat mal antara lain :

1.    Nisab ialah Batas nilai kekayaan yang dikenakan zakat
2.    Haul ialah masa pemilikan harta/kekayaan untuk menghitung (mengeluarkan) zakat.
3.    Kadar zakat ialah jumlah zakat yang harus dikeluarkan.

Mengenai ketentuannya :

1.    Emas, nisabnya 94 gram,haulnya satu tahun, dan kadar zakatnya 2,5%
2.    Perak, nisabnya 672 gram, haulnya satu tahun, dan kadar zakatnya 2,5%
3.    Binatang ternak(kambing) ,nisabnya 40 ekor,haul satu tahun, jika jumlah kambing ada 40 – 120 ekor kadar zakatnya 1 ekor,
4.    Tumbuh-tumbuhan (padi ), nisabnya 1.350 kg gabah atau senilai 759 kg beras,haulnya setiap masa panen, kadar zakatnya 5% jika pengairan sulit,dan 10% jika pengairan mudah.

حَدَّثَنَا مُحَمَّد اَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ خَبَرَنَا زرباء بنِ اِسحَاق عَنِ بْنِ عَبْدُ اللهِ بْنِ صَيْفِ عَنْ اَبِى مَوْلَى بْنِ عَبَّاسْ رَضِيَ الله عَنْهُمَا : قَالَ رَسُوْل اللهِ صَامَ لِمُعَادِ بْنِ جَبَلَ حِيْنَ بَعْثَهُ اِلَى الْيَمَنِ : اِنَّكَ مَتَأْتِى قَوْمًا اَهْلَ كِتَابٍ فَاءِذَ جِئْنَهُمْ فَادْعُهُمْ. إلَى اَنْ يَشْهَدُوْ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ فَإِنْ هُمْ اَطَاعُوْ اللهَ بِذلِكَ فَأُخْبِرْهُمْ. اَنَّ اللهَ قَدْ فِرَنِى عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَدُ مِنْ اَغْنِيَائِهِمْ فَتُرِدُ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ اَطَاعُوْ لَكَ بِذَالِكَ فَاَيَّكَ وَكْرَثِمِ الْمُوَالِهِمْ وَابودعوه الظُّلُوْمِ فَإِنَّهُ لَبُسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ (رواه البخارى) "باب حد الصدقة من اعنياء وحوف الفقراء

Artinya:

“Dari Muhammad dari Abdullah berkata Rasullulah SAW kepada Muazd bin Hambal dia diutus ke Yaman: Sesungguhnya kamu datang pada suatu kaum ahli kitab maka ketika kamu telah datang pada mereka serulah mereka pada persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Apabila mereka menaatinya maka beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan shalat lima waktu setiap hari dan malam. Apabila mereka menaatinya maka beri tahukanlah bahwa Allah mewajibkan kepada mereka sedekah dalam harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya diantara mereka lalu diberikan kepada orang miskin mereka. Apabila mereka menaatimu dalam hal itu maka hendaklah engkau berhati-hati harta terbaik mereka dan waspadalah terhadap do’adalah orang-orang yang teraniaya karena tidak ada penghalang dengan Allah.”

Tahrij hadist :

Hadist disamping diriwayatkan oleh bukhori dan bab zakat juga diriwayatkan oleh perowi-perowi yang lainnya:

1. Imam Muslim dalam Shohih Muslim bab Iman No. Hadits 26 dan 31.
2.An-Nasa’i dalam Sunan Nasa’i bab zakat.
3. Ad-Darimi dalam Sunan Darimi bab zakat.

Dari sahabat Abu Said Alkhudri ra,dari Nabi saw, bersabda :

ليس فيما دون خمسةِاوسقِ صد قة ولا فيمادون خمس ذود صدقة,ولا فيمادونخ خمس أواق صدقة

“Tidak wajib zakat atas hasil bumi yang jumlahnya kurang dari lima wasaq, dan tidak wajib zakat atas hewan yang jumlahnya kurang dari lima dzaud ; serta tidak wajib zakat atas perhiasan (emas atau perak) yang jumlahnya kurang dari lima uwaq.”
3.    Semua Amal Kebaikan adalah Shadaqah

Dari sahabat ibnu Abi Saibah r.a. dari nabi saw bersabda :

كل معروف صدقة

“Setiap kebajikan itu adalah sedekah”


عن خَذ يفقة رضي الله عنه عنِ النبيِّ صلى الله وسلَم قال : كَلُّ معْروفٍ صدقةٌ

Artinya :
    Diriwayatkan dari Hudzaifah r.a bahwa Nabi saw . bersabda, “setiap kebaikan adalah Sedekah.” (muslim 3/8) .

عن ابى هريرة رضى الله عنه قال : جأ رجل الى النبى صلى الله عليه وسلم : ان تصدق وانت صحيح شحيح، تحش الفقر وتأمل الغنى، ولا تهمل حتى اذا بلغت الحلقوم، قلت : لفلان كذا، ولغلان كذا، وقد كان لفلان.

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dia berkata : seorang laki-laki menemui nabi saw lalu ia bertanya, “ya rasulallah, sedekah apa yang paling besar pahalanya?” rasulullah bersabda, “ sedekah yang kau berikan ketika kamu segar bugar, ketika kamu merasa enggan karena khawatir menjadi miskin dan mendambakan kekayaan janganlah kamu menunda nunda sedekah sehingga nyawamu sampai dikerongkongan barulah kau katakana harta saya nanti sekian untuk ahli waris yang ini, padahal tanpa kau katakana begitu hartamu pasti akan menjadi milik ahli warismu. (H.R. Bukhori Muslim : 1419)

4.    Shadaqah yang Utama
Di antara shadaqah yang utama menurut Islam adalah sebagai berikut:

1.        Shadaqah Sirriyah
Yaitu shadaqah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Shadaqah ini sangat utama karena lebih medekati ikhlas dan selamat dari sifat pamer.

Di antara hikmah menyembunyikan shadaqah kepada fakir miskin adalah untuk menutup aib saudara yang miskin tersebut. Sehingga tidak tampak di kalangan manusia serta tidak diketahui kekurangan dirinya. Tidak diketahui bahwa tangannya berada di bawah, bahwa dia orang papa yang tak punya sesuatu apa pun.Ini merupakan nilai tambah tersendiri dalam ihsan terhadap orang fakir.

2.       Shadaqah Dalam Kondisi Sehat
Bersedekah dalam kondisi sehat dan kuat lebih utama daripada berwasiat ketika sudah menjelang ajal, atau ketika sudah sakit parah dan tipis harapan kesembuhannya. Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,

"Shadaqah yang paling utama adalah engkau bershadaqah ketika dalam keadaan sehat dan bugar, ketika engkau menginginkan kekayaan melimpah dan takut fakir. Maka jangan kau tunda sehingga ketika ruh sampai tenggorokan baru kau katakan, "Untuk fulan sekian, untuk fulan sekian." (HR.al-Bukhari dan Muslim)

3. Shadaqah Setelah Kebutuhan Wajib Terpenuhi
Nabi shallallahu‘alihi wasallam bersabda,
"Tidak ada shadaqah kecuali setelah kebutuhan (wajib) terpenuhi." Dan dalam riwayat yang lain, "Sebaik-baik shadaqah adalah jika kebutuhan yang wajib terpenuhi." (Kedua riwayat ada dalam al-Bukhari)

4.    Shadaqah dengan Kemampuan Maksimal
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alihi wasallam,
"Shadaqah yang paling utama adalah (infak) maksimal orang yang tak punya. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu." (HR. Abu Dawud)
Beliau    juga    bersabda,

"Satu dirham telah mengalahkan seratus ribu dirham." Para sahabat bertanya," Bagaimana itu (wahai Rasululullah)? Beliau menjawab, "Ada seseorang yang hanya mempunyai dua dirham lalu dia bersedakah dengan salah satu dari dua dirham itu. Dan ada seseorang yang mendatangi hartanya yang sangat melimpah ruah, lalu mengambil seratus ribu dirham dan bersedekah dengannya." (HR. an-Nasai, Shahihul Jami')



5.    Menafkahi Anak Istri
Berkenaan dengan ini Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
"Seseorang apabila menafkahi keluarganya dengan mengharapkan pahalanya maka dia mendapatkan pahala sedekah." ( HR. al-Bukhari dan Muslim)

6    .Bersedekah Kepada Kerabat
Diriwayatkan bahwa Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu memiliki kebun kurma yang sangat indah dan sangat dia cintai, namanya Bairuha'. Ketika turun ayat,
"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai." (QS. 3:92)

Maka Abu Thalhah mendatangi Rasulullah dan mengatakan bahwa Bairuha' diserahkan kepada beliau, untuk dimanfaatkan sesuai kehendak beliau. Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam menyarankan agar ia dibagikan kepada kerabatnya. Maka Abu Thalhah melakukan apa yang disarankan Nabi tersebut dan membaginya untuk kerabat dan keponakannya.(HR.al-Bukhari    dan    Muslim)

Nabi shallallahu ‘alihi wasallam juga bersabda,
"Bersedakah kepada orang miskin adalah sedekah (saja), sedangkan jika kepada kerabat maka ada dua (kebaikan), sedekah dan silaturrahim." (HR. Ahmad, an-Nasa'i, at-Tirmidzi    dan    IbnuMajah)


وفى رواية (لا توعى فيوعى الله عليك، ارضخى ماستطعت) (رواه البخار)

“Menurut riwayat lain dari asma’ binti abu bakar r.a. nabi saw bersabda kepadanya : janganlah jau simpan hartamu untuk meghindari sedekah; maka allah akan menahan anugrahNya kepadamu, infakkanlah menurut kemampuanmu.” (Hadist iji diriwayatkan oleh Al-Bukhori : 1434)

عن ابى هريرة رضى الله عنه قال : جأ رجل الى النبى صلى الله عليه وسلم : ان تصدق وانت صحيح شحيح، تحش الفقر وتأمل الغنى، ولا تهمل حتى اذا بلغت الحلقوم، قلت : لفلان كذا، ولغلان كذا، وقد كان لفلان.

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dia berkata : seorang laki-laki menemui nabi saw lalu ia bertanya, “ya rasulallah, sedekah apa yang paling besar pahalanya?” rasulullah bersabda, “ sedekah yang kau berikan ketika kamu segar bugar, ketika kamu merasa enggan karena khawatir menjadi miskin dan mendambakan kekayaan janganlah kamu menunda nunda sedekah sehingga nyawamu sampai dikerongkongan barulah kau katakana harta saya nanti sekian untuk ahli waris yang ini, padahal tanpa kau katakana begitu hartamu pasti akan menjadi milik ahli warismu.” (H.R. Bukhori Muslim : 1419).



BAB III
PENUTUP
A. Simpulan

1. Zakat pengertian spesifiknya telah ditentukan jenis,jumlah, waktu, dan sasaran.
2. Sedangkan infaq lebih luas dan bersifat umum disbanding dengan zakat ,kalau infaq jenis,waktu, sasaran bersifat bebas.
3.  Shadaqah penrtiannya lebih luas lagi dari pada infaq,mengenai jenis, waktu, sasaran boleh di berikan kepada siapa saja .
4. Zakat fitrah merupakan  zakat yang dikeluarkan pada 1 syawal sebelum pelaksanaan shalat ied,sebagai tanda penyucian diri dan sebagai penyempurna ibadah puasa yang dilakukakan sebulan penuh.

B. Penutup

Penulis menyadari kebenaran menyangkut makalah ini datangnya dari Allah semata, dan kekurangan atau kekeliruan disebabkan hanya karena kefakiran ilmu penulis. Sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran guna memperbaiki makalah ini. Demikian mudah-mudahan makalah kami  dapat bermanfaat bagi pembaca.


Daftar Pustaka
Masyhur,K.H. Kahar. Bulughul Maram. Rineka Cipta : Jakarta, 1992, cet I
Al-albahi,Muhammad Nashiruddin. Ringkasan Shahih Muslim. Gema insani: Jakarta,2005, cet 1

Makalah Tentang Pengertian Sabar

Pengertian Sabar | Sabar bukan hanya karena manusia itu gagal. Namun jikapun berhasil maka sabarlah yang akan menyelamatkan manusia agar te...